TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung berkaitan dengan penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ini adalah kali pertama Syafruddin diperiksa sebagai tersangka.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai tersangka pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa 5 September 2017.
Baca : Kasus BLBI, KPK Akan Kembali Panggil Sjamsul Nursalim
Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 25 April 2017 lalu, Syafruddin sempat mengajukan praperadilan berkaitan dengan status tersangka yang ditujukan padanya. Gugatan ini diajukan pertama kali pada 9 Mei 2017 lalu, namun sempat dicabut untuk perbaikan. Gugatan dengan perbaikan kembali dimasukkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Setelah melalui proses persidangan selama satu pekan pada akhir Juli 2017 lalu, hakim tunggal Effendi Muchtar menolak gugatan Syafruddin. Dengan begitu, KPK bisa melanjutkan penyidikan perkara ini.
Baca : Hakim Tolak Praperadilan Syafruddin Temenggung
Selain memeriksa Syafruddin, KPK juga akan memeriksa pemilik PT Bukit Alam Surya Artalyta Suryani alias Ayin sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin dalam kasus yang sama. Dalam perkara ini, Ayin merupakan orang dekat dari Sjamsul Nursalim, pemilik BDNI. Dia pernah dihukum oleh Kejaksaan Agung karena menyuap jaksa Urip Tri Gunawan untuk membebaskan Sjamsul.
Dalam kasus ini, Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI pada 2004. Padahal, BDNI belum melaksanakan kewajiban pelunasan utangnya. Ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.
BLBI adalah skema bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. BI sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan. Karena itu, korupsi BLBI ini pun disebut sebagai korupsi dengan nilai kerugian negara terbesar.
NINIS CHAIRUNNISA