TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra kembali mengajukan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Hanya satu pasal yang ingin diujimaterikan, yaitu Pasal 222 yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden dan calon presiden.
Yusril beberapa kali melayangkan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu. Salah satunya ialah uji materi pasal 9 dan pasal 3 ayat 5 Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Namun permohonan itu tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Yusril Ihza Mahendra: PBB Uji Materi Pasal Presidential Threshold
Ia mengatakan majelis hakim konstitusi sudah empat kali menolak permohonan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Kali ini, Yusril berharap MK bisa membatalkan ambang batas (presidential threshold) yang diatur di UU Pemilu Tahun 2017. "Penolakan itu sebelum putusan MK tentang Pemilu serentak," ucap Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 5 September 2017.
Selain itu, Yusril menjelaskan ada aspek lainnya yang bisa memperkuat dikabulkannya permohonan uji materi kali ini. Aspek itu ialah rasionalitas, moralitas, dan keadilan. Menurut dia, uji materi yang kelima ini bukan lagi menguji dengan UUD 1945 tapi juga filsafat hukum.
Sebagai contoh, ia menyatakan, dari aspek rasionalitas ambang batas akan sulit ditentukan bila pelaksanaan Pemilu dilakukan serentak. Yusril pun mempertanyakan penggunaan presidential threshold yang mengacu kepada Pemilu sebelumnya.
Tidak hanya itu, ucap Yusril Ihza Mahendra, dengan adanya ambang batas akan berpotensi melahirkan calon tunggal atau setidaknya dua calon saja di Pemilu presiden dan wakil presiden 2019. Hal inilah yang menurut Yusril tidak berkeadilan. "Apakah cukup adil apabila presiden menggunakan undang-undang untuk membela kepentingannya sendiri," kata mantan Menteri Sekretaris Negara itu.
ADITYA BUDIMAN