TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Profesor Suhartono memberikan pandangannnya soal kemungkinan munculnya raja perempuan di Keraton Yogyakarta. Isu raja perempuan ini kembali menghangat pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan pasal 18 ayat 1 huruf m Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Menurut Suhartono, isu raja perempuan ini akan menjadi persoalan yang pelik bagi Keraton Yogyakarta. Ia membandingkan persoalan suksesi keraton pada masa kolonial Belanda "Kalau dulu (persoalan suksesi raja keraton) ditengahi pemerintah kolonial, jadi relatif gampang," ujar Suhartono kepada Tempo Senin, 4 S eptember 2017.
Baca juga: Raja Keraton Perempuan, Sultan HB X DIdesak Contoh Kakeknya
Pemerintah kolonial Belanda kata Suhartono, kerap mendukung calon raja yang posisinya lemah untuk naik tahta menjadi raja. Tapi dengan syarat, ada imbalan berupa kontrak-kontrak politik yang menguntungkan pemerintah kolonial.
Nah, persoalannya saat ini, menurut Suhartono, berdasarkan paugeran keraton, kedudukan Sultan tetap harus laki-laki, namun pada saat yang sama posisi gubernur bisa dijabat laki-laki atau perempuan. Padahal dalam UU Keistimewaan nomor 13 tahun 2012, jabatan raja keraton dan gubernur melekat. Raja keraton otomatis adalah Gubernur DIY.
Baca juga: Adik Sultan HB X Anggap Peluang Wanita Jadi Raja Tetap Kecil
Persoalannya, di keraton sendiri ada dua kubu yang berseberangan. Satu pihak yakni dari rayi dalem atau keluarga keraton yang menghendaki paugeran bahwa raja harus laki laki tak berubah. Kubu lainnya yakni dari Sultan Hamengku Buwono X yang hanya memiliki anak perempuan membuka opsi kemungkinan adanya raja perempuan.
"Agar putusan MK itu tak jadi kisruh, penyelesaiannya memang harus dari keraton dulu, bisa tidak paugeran (patokan adat) berubah," ujarnya.
Baca juga: Perempuan Bisa Jadi Raja di Yogya, Adik Sultan: Akan Picu Konflik
Menurut Suhartono, dalam persoalan isu raja perempuan ini, konteks politik harus dipisahkan. Memang konstitusi menjamin gubernur bisa laki laki atau perempuan. Namun soal paugeran keraton ini soal adat turun temurun yang pasti dipertahankan kuat keluarga keraton lain. "Mengubah paugeran (bahwa Sultan harus laki-laki) tidak mudah, dan paugeran ini di belakangnya masalah kekuasaan," ujarnya.
Suhartono menuturkan, Sultan HB X sebagai raja memang punya kewenangan penuh mengubah isi paugeran keraton. Sehingga raja perempuan bisa sangat mungkin terjadi. "Tapi menengok sejarah keraton masa silam, yang namanya perebutan kuasa itu luar biasa konfliknya, sampai pertumpahan darah, apa mau seperti masa lalu lagi? Kan enggak," ujarnya.
Baca juga: Isu Raja Perempuan, Adik Sultan HB X Tetap Pimpin Grebeg Besar
Suhartono tidak melihat ada cara lain untuk mengakhiri polemik isu raja perempuan ini selain menyelesaikan paugeran terlebih dahulu. Apa yang akan disepakati oleh Sultan HB X dengan keluarga keraton lainnya. "Kalau satu pihak tetap memaksakan kehendak mengubah paugeran maka akan jadi kericuhan," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO