TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berencana akan berkunjung ke Myanmar untuk membahas krisis etnis Rohingya di Rakhine State.
"Insya Allah kita akan berkunjung ke Myanmar, kita sedang atur semuanya mudah-mudahan dapat kita segera lakukan," kata Retno usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu 30 Agustus 2017.
Menlu juga mengungkapkan dirinya telah melaporkan kepada Presiden terkait komunikasi yang dilakukannya untuk meredakan konflik di Rakhine State.
"Kemarin, paling tidak melakukan komunikasi dengan tiga orang, pertama dengan National Security Advisernya Suu Kyi, kita bicara mengenai situasi di Rakhine," ungkap Retno.
Kedua, kata Menlu, berkomunikasi dengan Menlu Bangladesh, karena Myanmar dan Bangladesh harus melakukan kerjasama yang baik dalam penanganan, khususnya penanganan pengungsi. "Karena tanpa kerjasama yang baik akan sulit penanganan pengungsi ini dilakukan," katanya.
Selanjutnya, menurut Retno, dirinya pada Selasa 29 Agustus 2017 malam berkomunikasi dengan Kofi Annan berbicara dalam konteks bagaimana Indonesia berkontribusi untuk mengimplementasikan hasil atau report dari komisi Anan Advisery commission yang dipimpin mantan Sekjen PBB ini.
"Karena kalau dilihat dari 'temporary report' yang dikeluarkan pada Agustus yang lalu, apa yang dilakukan Indonesia 'fit very well' dengan rekomendasi yang dikeluarkan komisinya Koffi Anan," ungkapnya.
Retno mengatakan Kofi Annan sangat berharap bahwa Indonesia dapat membantu dan mengimplementasikan rekomendasi yang dikeluarkan koffi Anan.
Menlu juga mengaku ditelepon Menlu Turki pada Rabu pagi juga membahas masalah situasi di Rakhine State."Mudah-mudahan jadwal saya dapat segera difinalkan untuk kunjungan ke Myanmar. Dan saya sudah lapor ke presiden," kata Retno.
Menlu juga mengungkapkan bahwa Presiden sangat setuju dan pihaknya akan meneruskan pendekatan konstruktif agar pemerintah Myanmar dapat mengembalikan situasi keamanan di Rakhine State.
"Kemudian semua kekerasan harus dihentikan karena sekali lagi yang menjadi korban adalah warga sipil, Jadi aspek humanitarian perlu terus dikemukakan, diutamakan," katanya.
ANTARA