TEMPO.CO, Yogyakarta - Keputusan pemerintah untuk membangun bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai penuh risiko. Sebab, lokasi pembangunan New Yogyakarta Internasional Airport atau NYIA itu mempunyai risiko tinggi tsunami dan gempa bumi. Lokasi di dekat laut itu juga terancam oleh migrasi burung yang berkelompok, angin yang disertai pasir serta uap garam.
Kepala Pusat Penelitian Geo Tsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mendesak pemerintah segera melakukan kajian analisis risiko bencana di NYIA itu.
Baca : Bandara Kulon Progo Beroperasi, Adi Sutjipto Jadi Bengkel Pesawat
Memang, analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal sedang dikerjakan. Tetapi, analisi risiko belum dikerjakan. Padahal analisis risiko ini menjadi hal yang sangat pokok sebelum pembangunan bandar udara itu dikerjakan.
"Kajian analisis risiko belum dikerjakan," kata Eko di sela-sela seminar ‘Potensi Bahaya Gempa Bumi & Tsunami di Bandara Kulon Progo (NYIAP) dan Metode Mitigasinya’ di Universitas Gadjah Mada, Selasa, 29 Agustus 2017.
Dia menjelaskan, kawasan selatan Jawa, terutama Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daratan terbuat dari endapan sungai yang berhulu di Merapi. Dalam kajiannya daratan ini lebih mudah menghantarkan getaran gempa bumi sehingga menimbulkan dampak besar.
Simak : Bandara Yogya Mulai Digarap, 9 Warga Tetap Tak Mau Pindah
Sebagai contoh, saat gempa bumi Bantul 2006 dengan skala 5,9 skala richter menewaskan 6.000 orang, merobohkan ribuan bangunan. Sedangkan gempa Bengkulu 2007 dengan skala lebih besar yaitu 8,7 skala richter hanya menewaskan 3 orang.
Eko juga merujuk pada sejarah bencana, kawasan pantai selatan Jawa pernah dilanda gempa bumi dan tsunami yang bersumber dari zona subduksi, yaitu pataham pertemuan tiga lempeng besar Lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik.
“Usai tsunami Aceh 2004 melahirkan hipotesis baru bahwa sepanjang pesisir yang berhadapan dengan zona Megathurst Sunda menghasilkan gempa bumi besar dan berpotensi tsunami di kawasan pantai selatan pada masa depan," tutur Eko.
Dari kajian atau analisis risiko, kata Eko, tahap-tahap pembangunan bandaran NYIA lebih memperhitungkan tentang pengurangan risiko bencana.
Misalnya, bangunan harus tahan gempa, ada upaya membuat bangunan lebih tinggi. Kemudian ada lokasi-lokasi yang disiapkan untuk evakuasi jika terjadi bencana. "Kalau ada pembangunan bandara, pasti nanti akan mengundang banyak orang, analisis risiko untuk mengurangi risilo bencana yang terjadi," kata dia.
Baca juga : Presiden Jokowi: Bandara Kulon Progo Sudah Diramal Leluhur
Kepala Pusat Seismologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jaya Murjaya menyatakan dengan keberadaan landasan udara yang hanya berjarak 200 meter dari bibir pantai, maka penanggulanan risiko gempa maupun tsunami bisa dikondisikan dalam beberapa upaya.
Misalnya pembuatan hutan mangrove dengan komposisi hutan bakau dan pohon cemaran udang atau kolam-kolam besar penahan tsunami. "Namun semua ini harus dikerjakan secara menyeluruh,” kata Jaya terkait proyek bandara Kulon Progo yang direncanakan beroperasi pada 2019 itu.
MUH SYAIFULLAH