TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu kunci mengoptimalkan pemanfaatan potensi kelautan adalah pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kelautan. Hal itu mengingat potensi kelautan Indonesia begitu luar biasa, dengan panjang garis pantainya yang mencapai 104 ribu kilometer.
“Pengembangan SDM adalah salah satu kunci potensi kelautan Indonesia yang melimpah dan bisa dioptimalkan,” kata Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri dalam seminar “Pemanfaatan Demografi Indonesia di Sektor Kepariwisataan, Kebaharian, dan Ekonomi Kreatif” yang diselenggarakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas di Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2017.
Baca Juga:
Sumber daya kelautan Indonesia terdiri dari garam, ikan, tumbuhan laut, terumbu karang, fosfat, ombak, pasang surut laut, mutiara, plankton, minyak lepas pantai, dan sebagainya. “Sayangnya, potensi tersebut belum dikelola secara optimal,” ujarnya.
Menurut Hanif, belum optimalnya pengelolaan terhadap potensi kelautan Indonesia itu, secara sederhana bisa dilihat dari belum tercukupinya kebutuhan garam dalam negeri serta rendahnya konsumsi ikan penduduk Indonesia. “Itu terjadi karena masih rendahnya SDM Indonesia. Sebanyak 59,6 persen angkatan kerja hanya berpendidikan SD-SMP, 16,78 persen berpendidikan SMA, 11,34 persen berpendidikan SMK, 3 persen berpendidikan diploma, dan 9 persen berpendidikan sarjana,” tuturnya.
Apalagi, kata Hanif, kondisi itu diperparah dengan ketidaksesuaian (miss-match) antara jurusan pendidikan pekerja dengan pekerjaannya. Ia mencontohkan, dari 15,27 juta orang tenaga kerja lulusan perguruan tinggi, hanya 5,75 juta orang atau 37,65 persen yang jurusan pendidikannya sesuai dengan jabatannya.
Baca Juga:
Menteri Ketenagakerjaan menyitir hasil survei Mc Kansey Global Institute yang menyebut pada tahun 2030 Indonesia berpotensi menjadi negara perekonomian terbesar ke 7 di dunia. Menurutnya, itu mengisyaratkan Indonesia harus memiliki tenaga kerja terampil (skilled workers) sebanyak 113 juta orang. “Dibandingkan data tahun 2015 yang sebanyak 56 juta orang, maka selama 15 tahun perlu penambahan tenaga terampil sebanyak 3,8 juta orang per tahun,” katanya.
Untuk menggenjot ketersediaan tenaga kerja terampil itu, menurut Hanif, pemerintah tak bisa hanya mengandalkan jalur pendidikan formal. “Perguruan Tinggi misalnya, tiap tahun hanya mampu meluluskan rata-rata 784 ribu orang. Maka masih terdapat kekurangan sekitar tiga juta orang per tahun yang harus dipenuhi dari lembaga pendidikan dan pelatihan serta pelatihan kejuruan (vokasi),” ucapnya.
Terkait dengan hal itu, Kementerian Ketenagakerjaan pun menggalakkan pelatihan kerja di Balai Pelatihan Kerja (BLK), termasuk pelatihan khusus terkait dengan sektor kelautan. “Kurikulum yang dikembangkan BLK merujuk pada kebutuhan pasar kerja serta tersertifikasi profesi,” katanya. (*)