TEMPO.CO, Kediri - Program pemberian dana hibah senilai Rp 50 juta untuk setiap rukun tetangga (RT) oleh Pemerintah Kota Kediri dinilai rawan kebocoran. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat mendesak dilakukan audit oleh akuntan independen.
Wakil Ketua DPRD Kota Kediri Oing Abdul Muid mengatakan pemberian dana hibah sebesar Rp 50 juta per tahun kepada 1.436 RT di Kediri atau yang disebut dengan Program Pemberdayaan Masyarakat (Prodamas) patut dievaluasi. “Bukan menghalangi, tetapi mengkaji kelemahan mekanismenya untuk menghindari kebocoran,” kata Abdul Muid kepada Tempo, Jumat 25 Agustus 2017.
Prodamas ini diluncurkan oleh Pemerintah Kota Kediri sejak 2015 sebagai realisasi janji kampanye pasangan Walikota Abdullah Abu Bakar dan wakilnya Lilik Muhibbah. Program ini memberi keleluasaan masyarakat di tingkat RT untuk menentukan sendiri pembangunan fisik dan non fisik dengan plafon biaya Rp 50 juta per tahun.
Menurut Abdul Muid, program ini memiliki target bagus, yakni mempercepat pertumbuhan infrastruktur di bawah dengan meminimalisir peran lembaga pemerintah. Namun sayangnya pelaksanaannya kerap mengalami persoalan, terutama terkait pengadaan barang dan jasa yang dikelola oleh kelurahan. “Banyak proyek yang dikerjakan di luar spesifikasi, selain penerapan pajak siluman,” katanya.
Untuk itu dia mendesak dilakukannya audit atas pelaksanaan Prodamas sejak tahun anggaran 2015 - 2017. Dengan 1.436 RT, dana yang dikucurkan APBD mencapai Rp 71,8 miliar per tahun. Dana sebesar itu dikhawatirkan bocor jika tak diimbangi pengawasan ketat serta audit oleh akuntan independen.
Meski hibah tersebut untuk RT, namun faktanya mereka tak memiliki kewenangan mengelola anggaran. Seluruh bantuan tersebut dikelola dan dilaksanakan oleh kelurahan berdasarkan usulan dari RT. Usulan warga ini kemudian ditindaklanjuti oleh pendamping untuk penyusunan RAB dan pelaksanaannya, dengan ketentuan tetap melibatkan Ketua RT dan tokoh masyarakat dalam proses belanja barang.
“Realitanya, PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, yang dijabat lurah) hanya mengikuti pendamping yang menyusun Rencana Anggaran Belanja (RAB) di tingkat RT,” kata Lurah Mojoroto Achmad Koharudin.
Di awal pelaksanaan Prodamas banyak tenaga pendamping yang bermasalah. Meski telah mengikuti pelatihan, mereka kerap tak memahami teknis pelaksanaan proyek dan penganggaran di lapangan. Padahal tanggungjawab mereka cukup besar karena setiap pendamping membawahi 10 – 15 RT. “Kerap terjadi kesalahan oleh pendamping dan PPTK yang masih belanja sendiri,” kata Sekretaris Daerah Kota Kediri Budwi Sunu Hernaning Sulistyo.
Ketua RT 19 RW 06 Kelurahan Mojoroto Baku Widodo membenarkan hal itu. Meski terlibat penyusunan RAB, namun dengan alasan efektivitas seluruh proses belanja barang diserahkan kelurahan. Sehingga dia tidak pernah tahu apakah nilai belanja tersebut telah memenuhi pagu Rp 50 juta atau tidak. Selain itu spesifikasi barang yang didatangkan juga kerap bermasalah. “CCTV yang kami usulkan berkualitas jelek, baru sebulan sudah mati. Lemari perkakas yang katanya bagus juga ternyata plastik,” katanya.
Pengamat akuntansi sektor publik dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Ana Sopanah menilai proses pengawasan internal kerap tumpul. “Masalahnya UU Nomor 15 tahun 2006 menetapkan hanya BPK yang memiliki kewenangan menaksir kerugian negara,” ungkap Ana.
Dia berharap lembaga politik seperti DPRD bisa meningkatkan fungsinya melakukan pengawasan. Dalam sistem akuntabilitas keuangan negara, DPRD memiliki peran penting dalam meminta hasil audit BPK dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah.
Penguatan lembaga ad-hoc sebagai sarana warga mengadu dan mengawasi pelayanan publik, menurut Ana, juga menjadi kebutuhan mendasar dalam modernisasi birokrasi. “Setiap warga harus didorong untuk mengetahui anggaran pemerintah,” katanya.
HARI TRI WASONO