TEMPO.CO, Samarinda - Total E&P Indonesie, Pemprov Kalimantan Timur, dan Tempo Institute meluncurkan buku “Ekspedisi Kudungga, Menelusuri Jejak Peradaban Kutai” di Pendopo Gubernur Kalimantan Timur, Samarinda, Jumat siang (25/8). Acara dihadiri Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, Vice President Total E&P Indonesie Agus Suprijanto, dan Direktur Tempo Institute Mardiyah Chamim.
Kepala Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kalimantan Timur Syafrudin Pernyata dan Zularfi dari Museum Mulawarman menjadi nara sumber dalam acara diskusi yang menyertai peluncuran buku ini.
Kudungga bukan nama popular. “Tak banyak yang bisa diingat dari namanya,” ujar Mardiyah Chamim. Padahal, ia adalah raja pertama di kerajaan tertua di Nusantara, Kerajaan Kutai di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Kudungga—dalam yupa ditulis Kundungga-- merupakan kakek dari raja ternama Mulawarman. Tapi memang tak banyak informasi tentang Kudungga, bahkan di buku-buku sejarah di sekolah. “Karena itulah buku ini dibuat,” ujarnya.
Buku ini dimaksudkan untuk menambah kepustakaan tentang Kudungga dan kerajaannya, masa sebelumnya dan setelahnya, dan masa kini. Namun ini bukan dokumentasi dari sebuah ekspedisi akademis ilmiah. “Buku ini lebih tepat disebut sebagai kumpulan catatan dari sebuah perjalanan jurnalistik,” Mardiyah menekankan.
Bahan-bahan untuk menuliskan buku ini dikumpulkan dengan pendekatan jurnalistik. Tim ekspedisi mencatat sidik jari masa lalu yang terekam dalam berbagai peninggalan dan keseharian penduduk dengan memantau, mengamati, dan mewawancarai 150-an orang selama ekspedisi, serta mendatangi tempat-tempat penting dalam sejarah Kutai dan Kalimantan Timur. Hasilnya kemudian diramu dengan riset kepustakaan dan mewawancarai para pakar.
Terdiri dari 264+xvi halaman, buku Ekspedisi Kudungga terbagi ke dalam tiga bagian, masing-masing dengan sejumlah bab. Bagian pertama tentang orang-orang Kalimantan prasejarah.
Pulau Kalimantan sudah mengambil peran sangat penting dalam peradaban di Asia Tenggara dan sekitarnya sejak jaman prasejarah. Di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat ditemukan bukti-bukti bahwa pulau ini telah dihuni paling tidak sejak jaman es terakhir, berupa gambar-gambar cadas berwarna merah dan hitam, pecahan gerabah, hingga biji-bijian. Diyakini, kawasan ini pada masa itu adalah titik penting migrasi bangsa-bangsa, yang terakhir bangsa Austronesia. Apakah mereka adalah juga cikal-bakal suku-suku dayak dan Dinasti Kutai di Muara Kaman?
Buku ini tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Tapi ada sejumlah petunjuk. Misalnya, kawasan ini ternyata masih dihuni di masa-masa awal Tarikh Masehi, bersisian abad dengan berdirinya Kerajaan Kutai di Muara Kaman. Petunjuk lainnya adalah adanya kesamaan motif gambar tangan di gua Sangkulirang-Mangkalihat dengan tato di suku Dayak.
Bab selanjutnya membicarakan Kalimantan di era Kerajaan Kutai, hingga jatuhnya kerajaan ini ke Kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah itu diceritakan tentang Kerajaan Kutai Kartanegara hingga kerajaan ini menjadi bagian Indonesia. Ada pula cerita-cerita miris tentang penggalian liar di wilayah ini di sekitar dekade 90-an.
Bagian dua mengekploatasi budaya suku-suku Dayak di tanah Kutai, menelisik identitasnya, asal-muasalnya, hingga matapencahariannya. Buku ini mengekploitasi budaya yang hidup di suku-suku ini, dari kisah tentang Behempas, perburuan kepala di masa lalu, tato, hingga filosofi dan seni di balik sehelai tikar, anjat, dan cahung.
Bagian tiga menceritakan Kutai masa kini. Tiga kota--Tenggarong, Samarinda, dan Balikpapan--ditulis khusus. Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara yang menjadi jantung kebudayaan di Kalimantan Timur. Samarinda dan Balikpapan adalah jantung kembar ekonomi di provinsi ini.
Beberapa rekomendasi untuk menguak misteri Kutai dari para pakar dituliskan dalam buku ini. Soal asal mula batu andesit yang menjadi bahan pembuat yupa, misalnya, pakar geologi menyarankan dilakukan pemeriksaan sidik jari batu tersebut, karena setiap batu membawa ciri daerah asalnya.
Pada awal perjalanan pembuatan buku ini, sangat sedikit yang diketahui tentang Kudungga dan Kalimantan Timur dahulu kala. Setelah perjalanan kelar pun masih sangat sedikit pengetahuan tentang Kudungga, sejarah Kutai, juga Kalimantan. Kawasan di pulau terbesar ketiga di dunia ini tetap saja sehampar terra incognita, ranah yang masih dipenuhi asrar.
YOSEP