TEMPO.CO, Kuningan - Ratusan warga adat Sunda Wiwitan berhasil mempertahankan rumah adat mereka yang akan disita petugas Pengadilan Negeri Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis siang, 24Agustus 2017.
Mereka beralasan putusan tersebut tidak mempertimbangkan amanat leluhur yang menyebutkan tanah seluas 224 meter persegi, bukan diwariskan kepada salah satu keluarganya Raden Jaka Rumantaka, tetapi diperuntukkan kegiatan adat Sunda Wiwitan.
Untuk mengantisipasi bentrokan, polisi menerjukan ratusan personel dan Brimob, 60 anggota TNI, dan Satpol PP.
Nyaris terjadi bentrokan saat petugas pengadilan dibantu polisi akan mengeksekusi, terlibat saling dorong, tiba-tiba para wanita langsung melakukan aksi tiduran di jalan dan depan tanah tersebut. Untuk menghindari bentrokan, akhirnya semua aparat mundur teratur, dan menunda pelaksanaan eksekusi.
Eksekusi berdasarkan surat penetapan Pengadilan Negeri Kuningan, nomor : 31/pen.K.Pdt.eks/PN Kng. Tanggal 25 April 2017 tentang eksekusi antara Jaka Rumantaka sebagai pemohon melawan E. Kusnadi dkk.
Baca: Jaka Rumantaka, Tanah Itu Milik Ibu Saya
Perebutan lahan yang saat ini digunakan untuk mini museum dan rumah kegiatan masyarakat adat Sunda Wiwitan ini, bermula saat salah satu keluarga Pangeran Tedjabuana (putra Madrais pendiri Sunda Wiwitan) bernama Jaka Rumantaka mengaku diberi warisan Tanah leluhur yang diperkuat oleh keterangan juru tulis desa Cigugur Murkanda tahun 1980.
Jaka Rumantaka. Elik Susanto
Jaka mengklaim tanah tersebut diberikan kepadanya. Sehingga dia menggugat tanah tersebut. Padahal dalam manuskrip adat Sunda Wiwitan tanah tersebut diwasiatkan untuk rumah kegiatan adat Sunda Wiwitan bukan perorangan.
Salah satu keturunan dan pengaping adat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti, mengatakan sejak tahun 1973 atas restu Pangeran Djati Kusumah, turunan ketiga Madrais, di atas tanah tersebut diperbolehkan dibangun oleh penganut Sunda Wiwitan asal Garut yang bekerja secara sukarela di Rumah Paseban (semacam kraton).
"Dalam amanat leluhur kami yang dituangkan dalam manuskrip huruf sunda, tanah itu sebagai rumah kegiatan yang ditempati oleh warga adat Sunda Wiwitan, untuk berbagai kegiatan, bukan diberikan kepada seseorang," jelas Dewi Kanti, saat ditemui Tempo, kamis sore.
Dia menyebutkan sejak 1973 rumah itu digunakan bergantian oleh penganut Sunda Wiwitan, namun entah kenapa tahun 2008 Jaka Rumantaka, mengklaim dan melakukan gugatan tanah tersebut.
"Saat persidangan berlangsung hakim tidak mempertimbangkan bahwa itu tanah adat bukan hak waris, saya rasa ini tidak adil," kata Dewi.
Menurut Dewi Kanti, pihaknya akan terus mempertahankan rumah adat tersebut karena untuk kepentingan masyarakat Sunda Wiwitan, apalagi bulan September mendatang mereka akan melakukan ritual tradisi seren tahun yang sudah berlangsung puluhan tahun di sekitar rumah Paseban, Cigugur, Kabupaten Kuningan.
DEFFAN PURNAMA