TEMPO.CO, Jakarta - Ricky Elson, adalah salah satu tokoh edisi khusus Tempo Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2017. Prestasinya, menciptakan teknologi kincir angin yang lebih efisien dari buatan perusahaan asing. Efisiensi teknologi ciptaan Ricky menarik perhatian Jepang. Berikut kisahnya:
Di pedalaman Tasikmalaya, di Lentera Bumi Nusantara yang dipimpin Ricky Elson, Sony Dwi Setiawan asyik berdiskusi dengan 12 orang kawannya. Komputer menyala di depan mereka. Sony, mahasiswa berusia 20 tahun, mengajak teman-temannya membicarakan generator dan baterai. Istilah kelistrikan mendominasi perbincangan. Mereka berdiskusi di ruangan berukuran 2 x 3 meter.
Sejumlah orang mengenakan sarung dan kaus, sementara beberapa lainnya bercelana pendek. Membentuk lingkaran, mereka berlesehan. "Kami praktik kerja dua bulan," kata Sony, Jumat pekan lalu. Mahasiswa semester V Politeknik Negeri Jakarta itu datang ke Lentera Bumi Nusantara di Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, untuk mempelajari pembangkit listrik dari kincir angin karya Ricky Elson.
Baca: Edisi Khusus 17 Agustus: Orang Muda Inspiratif
Sony mengatakan timnya menganalisis angin yang dihasilkan instalasi kincir angin yang berdiri 10 meter arah selatan dari tempat mereka berdiskusi. Selain Sony dan kawan-kawannya, pada hari itu ada 10 guru Sekolah Menengah Kejuruan Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan, yang sedang belajar di sana untuk masa tiga bulan.
Ricky sesekali memantau dan menanyakan perkembangan penelitian sejumlah orang di sana. Lentera Bumi Nusantara merupakan pusat studi dan pengembangan teknologi energi terbarukan yang didirikan Ricky pada 2014. Setidaknya 80 pelajar, mahasiswa, guru, dan peneliti pernah belajar di situ. "Semua yang berniat belajar di sini, silakan. Gratis," ucap Ricky.
Simak pula: 17 Agustus 2045 Menjelang: Tokoh Muda Menggantang Indonesia
Ada tujuh kincir angin berukuran 4-11 meter di Ciheras. Sebelum datang ke Ciheras, Ricky sudah mengembangkan kincir angin Penari Langit di tiga desa di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, sejak 2012. Kini, 100 kincir angin dengan tinggi 4 meter terpasang di tiga desa di sana: Kalihi, Palindi, dan Tanarara. Tiap-tiap kincir menghasilkan setrum 500 watt. "Kami menyebut kincir itu sebagai Penari Langit," katanya.
Fakta bahwa Indonesia baru bisa memproduksi listrik 65 megawatt dari kebutuhan 100 ribu megawatt membuat Ricky miris. Saat ini, konsumsi energi terbarukan di Indonesia baru 11,9 persen. Penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia tergolong tinggi, padahal hal itu merusak lingkungan. "Kita harus memikirkan energi terbarukan, dan memiliki kemandirian energi."
Penggerak energi rakyat, Tri Mumpuni, mengatakan teknologi kincir angin karya Ricky itu bisa menjadi salah satu solusi energi bagi Indonesia. Ia mengungkapkan, kincir Penari Langit hanya membutuhkan angin berkecepatan 2-4 meter per detik, jauh lebih kecil dibanding turbin angin asing yang baru bisa menghasilkan listrik bila kecepatan anginnya 7-10 meter per detik.
Teknologi karya Ricky ini telah dilirik Jepang. Tri Mumpuni, yang sekarang berada di Ramallah, Palestina, sedang memproses penerapan teknologi karya Ricky di negeri Timur Tengah itu atas permintaan Jepang. "Mesin listrik buatan Ricky itu murah, mudah, dan berdampak pada masyarakat sekitar. Temuan Ricky perlu dikembangkan di berbagai daerah terpencil di Indonesia," katanya.
Simak artikel lainnya tentang Edisi Khusus 17 Agustus hanya di Tempo.co.
TIM TEMPO