TEMPO.CO, Jakarta - Dalam memperingati hari proklamasi 17 Agustus, redaksi Tempo menampilkan edisi khusus tokoh muda. Salah satunya adalah Mizan Bustanul Fuady Bisri, pembuat kurikulum anti-bencana dengan cara menyenangkan untuk murid dan guru di sekolah. Seperti melalu permainan kartu.
"Misalnya, lewat permainan bosai duck dengan kartu gambar bencana. Apa yang harus dilakukan oleh anak bila melihat kartu itu," kata pria kelahiran Bandung ini, kutip dari Koran Tempo edisi 16 Agustus 2017. Dari situ, guru dan anak diajak mengidentifikasi risiko bencana di sekitar mereka. Lulusan Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung ini mengatakan setiap sekolah memiliki siswa dengan karakter yang unik.
Baca: Edisi Khusus 17 Agustus: Orang Muda Inspiratif
Sepuluh tahun sejak tsunami menerjang, warga Pangandaran, Jawa Barat, belum juga diajarkan cara menghadapi bencana tersebut. Hotel-hotel di kawasan Pangandaran belum menerapkan sistem mitigasi. Sekolah-sekolah pun tak menggelar latihan evakuasi bencana dalam tahun-tahun terakhir.
"Kalau gempa dan tsunami, ya, lari saja ke rumah," kata Aniza Andi Fitria, siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pangandaran, akhir pekan lalu.
Ini yang membuat Mizan , 29 tahun, cemas. Padahal, Indonesia lebih rentan terhadap ancaman tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi dibandingkan dengan negara lain. Indonesia adalah negara paling rawan gempa urutan ketiga.
Lihat juga: 17 Agustus 2045 Menjelang: Tokoh Muda Menggantang Indonesia
Mizan memfokuskan ikhtiarnya pada pendidikan kebencanaan. Ia memulainya dengan meneliti model terbaik untuk diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Dalam penelitiannya pada 2014 lalu, Mizan menemukan fakta bahwa belum ada satu pun kota dan kabupaten di Indonesia yang 100 persen sekolahnya menerapkan pendidikan kebencanaan. "Latihan evakuasi di sekolah didominasi oleh lembaga swadaya masyarakat, bukan bagian dari kegiatan yang integral di sekolah," kata Mizan.
Sejak 2011, Mizan menetap di Kobe, Jepang, untuk menyelesaikan studi doktoral di Kobe University dalam bidang kerja sama international untuk penanggulangan bencana. Sebagai orang asing di Jepang, Mizan punya pengalaman unik. Karena sulit memahami bahasa Jepang, ia sukar memahami rambu evakuasi bencana.
Tak ingin kejadian sama berulang, Mizan kemudian meneliti bagaimana Kota Kobe sebaiknya menyediakan rambu evakuasi yang ramah orang asing. Penduduk lokal diajak dan diajari untuk membantu pendatang bila evakuasi bencana terjadi.
Penelitian Mizan tentang kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana ini pernah digunakan oleh Pemerintah Provinsi Hyogo, Jepang, untuk mendesain bantuan gempa Nepal pada April 2015. Diapresiasi pemerintah negara lain, Mizan ingin usahanya juga bermanfaat bagi bangsa sendiri.
Setidaknya 5,4 juta penduduk Indonesia berisiko dirundung bencana alam. Menurut Mizan, tinggal di negeri yang rawan bencana tak bisa dielakkan. Yang bisa dilakukan adalah menganulir dampaknya dengan pendidikan kebencanaan yang universal dan mudah dipahami.
Mizan punya mimpi, pada 2045 mendatang, Indonesia menjadi contoh dunia untuk pendidikan kebencanaan dan penanggulangannya. "Kata gotong royong harus menjadi kata sakti untuk menggambarkan empowered-community pada saat pemulihan pascabencana."
Simak artikel lainnya tentang Edisi Khusus 17 Agustus hanya di Tempo.co.
TIM TEMPO