TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia memiliki talenta muda terbaik di berbagai sektor. Di bidang kesehatan, salah satunya adalah Satria Arief Prabowo yang menjadi tokoh pilihan Tempo di Edisi Khusus Tokoh 17 Agustus. Di usia 24 tahun, Satria merupakan periset termuda dalam proyek pengembangan vaksin baru tuberkulosis bersama 20 negara yang didanai Uni Eropa. Baca: Tokoh 17 Agustus, Nunuk Riza Puji: Pokemon Go dari Petungkriono
Berbeda dengan vaksin biasa yang bertujuan mencegah penyakit, vaksin yang sedang diteliti alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini dapat diberikan kepada penderita untuk membangkitkan sistem kekebalan tubuh dan berpotensi memperpendek masa pengobatan.
Keunikannya terletak pada kandungan latency antigen yang belum terdapat dalam vaksin BCG. Satria menjelaskan, kuman tuberkulosis memiliki kemampuan menjadi dorman (TB persisters). Jenis kuman inilah yang menyebabkan pengobatan menjadi lama karena tidak mudah diberantas. “Dalam kandidat vaksin yang kami kerjakan, diperkenalkan latency antigen agar kuman TB persisters dapat dideteksi oleh sistem imun tubuh dan tertanggulangi secara paripurna,” kata dia.
Kepedulian Satria pada vaksin tuberkulosis didorong oleh masih tingginya ancaman tuberkulosis pada masa mendatang. Badan Kesehatan dunia (WHO) masih menempatkan tuberkulosis sebagai ancaman global. Setiap tahun, 10 juta orang di dunia menderita penyakit ini dengan rasio kematian 1 dari 10 penderita. Indonesia mendapat perhatian khusus karena jumlah penderitanya terbanyak kedua di dunia setelah India.
Satria mengatakan tuberkulosis berpotensi menjadi masalah serius lantaran adanya jenis tuberkulosis yang kebal terhadap pengobatan alias multi-drug resistant tuberculosis. Keberhasilan terapi tuberkulosis jenis ini hanya 50 persen dengan jangka waktu pengobatan hingga 20 bulan. “Tuberkulosis ini dilaporkan semakin meningkat di Indonesia dan lebih sulit diobati,” ucap Satria. Baca juga: Tokoh 17 Agustus: Dulu Hobi Kini Rezeki di Tim Balap F1
Adapun vaksinasi BCG yang diandalkan sebagai penangkal tuberkulosis hanya efektif mencegah tuberkulosis meningitis dan milier pada dua tahun pertama masa kanak-kanak. Sedangkan efektivitas pencegahan tuberkulosis paru pada orang dewasa hanya maksimal 50 persen. Beragam kondisi tersebut melatarbelakangi riset doktoralnya. “Proyek saya bertujuan mengembangkan vaksinasi terapeutik bagi penderita tuberkulosis, baik anak-anak maupun dewasa,” kata dia.
Selain riset vaksin tuberkulosis, Satria sudah melakukan berbagai riset di bidang penyakit tropis dan infeksi. Semasa mahasiswa, dia meneliti malaria dan kuman MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) yang turut menjadi masalah di bidang kesehatan. Riset ini dipresentasikan dalam berbagai kongres internasional dan mengantarkannya meraih penghargaan “Best Presenter Award” di International Student Congress of (bio) Medical Sciences di Groningen, Belanda; dan International Medical Student Congress di Novi Sad, Serbia, pada 2012.
Ketertarikan Satria pada riset penyakit tropis dan infeksi berawal saat ia mendapatkan beasiswa dari University of Groningen, Belanda, untuk program clinical dan research internship pada 2012. Dia melihat Belanda, yang bukan merupakan negara tropis, sangat peduli pada penyakit tropis dan infeksi. Menurut Satria, dana yang digelontorkan untuk satu proyek pengembangan vaksin tuberkulosis bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Sebagai dokter asli Indonesia, dia merasa terpanggil. “Selama ini, vaksin untuk penyakit infeksi justru dikembangkan di negara-negara maju, dan pada akhirnya kita harus membeli untuk digunakan di negara tropis seperti Indonesia,” kata dia. Satria berpikir, sudah saatnya anak bangsa menciptakan sendiri inovasi bidang penyakit tropis dan infeksi.
Risetnya saat ini sudah berhasil mengidentifikasi regimen vaksinasi terapeutik yang optimal untuk diterapkan pada manusia. Temuan tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal internasional Vaccine edisi Desember 2016 dengan judul artikel “The TB vaccine H56+IC31: Data generation to inform vaccine dose decisions”. Hasilnya juga sudah dipresentasikan di European Society for Paediatric Infectious Diseases di Madrid, Spanyol, Mei 2017.
Sekarang, Satria tengah menempuh program doktoral di London School of Hygiene and Tropical Medicine. Pendidikan ini dijalaninya tanpa harus melewati jenjang master. Ini semua berkat risetnya yang kelak akan menyelamatkan jutaan nyawa dari tuberkulosis. “Saya merupakan mahasiswa termuda dan akan menyelesaikan studi pada usia 25 tahun,” kata dia.
Satria punya mimpi, dalam usia ke-100 tahun kelak, Indonesia bisa sejajar dengan negara maju dalam bidang inovasi dan pelayanan kesehatan. Dia ingin Indonesia menjadi pusat riset penyakit tropis dan infeksi dunia. “Dan dapat menghasilkan peraih Nobel yang selama ini masih didominasi peneliti dari negara-negara maju,” kata dia.
Ketua Terpilih Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Daeng M. Faqih, mengatakan riset yang dilakukan Satria merupakan jawaban bagi Indonesia pada masa mendatang. Menurut dia, potensi penyebaran tuberkulosis di Nusantara tetap tinggi. Apalagi ada kondisi resisten dan superresisten terhadap pengobatan yang menyebabkan jangka waktu pengobatan semakin lama dan mahal. Jika Satria berhasil menemukan vaksin yang lebih komprehensif, Daeng berujar, itu adalah kemenangan melawan tuberkulosis. “Karena mencegah lebih baik ketimbang mengobati,” kata dia. Artikel lainnya: Tokoh 17 Agustus: Muhammad Rizky Buktikan Gamer Bisa Jadi Profesi
DINI PRAMITA