INFO MPR - Pada tahun ke-72 kemerdekaan, Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tak mudah. Demokrasi dan kebebasan telah memberi peluang kepada siapa saja untuk melaju, bahkan melakukan akselerasi diri atau kelompok. Ini sesuatu yang niscaya dalam kehidupan demokrasi.
Hal itu disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan saat menutup Sidang Tahunan MPR 2017 di Gedung Nusantara, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Rabu, 16 Agustus 2017.
Baca Juga:
Namun di sisi lain, kata Zulkifli, ada orang-orang yang frustrasi atas ketertinggalannya. Lalu mereka mencari pegangan sendiri karena mengganggap apa yang disepakati bersama tak memberi perlindungan dan jaminan bagi dirinya untuk bisa maju bersama. Pada bagian ini, mereka menganggap pentingnya negara dan bangsa menekankan aspek memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Di pihak lain, ada orang-orang yang sudah melampaui kesejahteraan umum dan mencapai apa yang dimaksud dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga yang harus mendapat prioritas adalah masalah perlindungan bangsa dan tumpah darah Indonesia.
"Kita sebagai para pemimpin bangsa dan negara ini harus bisa melihat semua itu dengan jernih dan terbuka. Kembalikan semuanya kepada empat cita-cita seperti yang telah dirumuskan para pendiri bangsa dan negara ini serta dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kita tidak boleh membiarkan Indonesia ini robek dan koyak. Kita tidak boleh membiarkan Pancasila dan UUD 1945 dicampakkan atau hanya menjadi simbol," ujarnya.
Pancasila dan UUD 1945, kata Zulkifli, adalah kesepakatan bersama dan bersama dalam bernegara dan dalam ber-Indonesia. Itu tidak bisa ditawar-tawar dan menjadi harga mati. "Kami percaya Pancasila dan UUD 1945 bukanlah palu gada terhadap pihak yang tidak satu pandangan, tidak satu barisan, atau tidak satu partai dalam ber-Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 adalah muara bersama dari beragam mata air. Karena itu, Pancasila disebut sebagai ideologi terbuka," katanya.
Baca Juga:
Zulkifli mengingatkan bagaimana kisah persahabatan Pak Kasimo dan Pak Natsir yang bersepeda bersama setelah debat sengit di parlemen. Pak Prawoto, mantan wakil perdana menteri dan saat itu menjadi Wakil Ketua Konstituante, adalah pribadi yang jujur, berdedikasi, dan sangat sederhana. Ia tak kunjung memiliki rumah. Ketika hendak membeli rumah yang sudah lama ia kontrak, Pak Kasimo membantunya.
"Kita juga ingat persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta yang tetap hangat dan akrab meski mereka berbeda pandangan yang tak ada titik temunya tentang demokrasi. Kita juga ingat kisah persahabatan Pak Simatupang dengan Pak Kasman dan Pak Prawoto ketika sama-sama bergerilya akibat agresi Belanda. Kita juga ingat kisah Buya Hamka bergegas untuk mengimami salat jenazah Bung Karno kendati telah dipenjarakan tanpa proses peradilan," tuturnya.
Menurut Zulkifli, keteladanan itu sangat penting untuk dibuka lagi di masa kini. Karena itu, dia mengajak semua pihak merenungkan kata-kata yang begitu dalam yang diwasiatkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyaribahwa yang mengatakan manusia harus bersatu agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan serta agar terhindar dari kehancuran dan bahaya.
"Saat ini, kita sedang dihadapkan pada kondisi memprihatinkan akibat abai pada keteladanan para pendiri bangsa. Kita kurang empati pada sesama anak-anak bangsa dan selalu menganggap diri paling benar," ucapnya.
Karena itu, kata Zulkifli, jika ada pihak-pihak yang melakukan klaim-klaim sebagai yang Pancasilais dan menuduh yang lain tidak Pancasilais, yang bersangkutan harus belajar lagi tentang sejarah Pancasila. "Mari kita berlaku bijak, dewasa, dan satria. Sekarang adalah masanya kerja kerja kerja, seperti yang ditekadkan Presiden Jokowi di awal pemerintahannya. Presiden telah menunjukkannya dengan melakukan pembangunan infrastruktur di mana-mana, dari Aceh sampai Papua, dari Miangas sampai Pulau Rote. Jokowi melakukan akselerasi pembangunan jalan, jembatan, bendungan, pelabuhan, bandar udara. Sebuah prestasi yang luar biasa dan sangat membanggakan kita semua," tuturnya. (*)