TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Sucofindo (Persero), Arief Safari, mengaku tidak pernah mengenal dan bertemu dengan Setya Novanto saat diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus e-KTP, hari ini, Selasa, 15 Agustus 2017. Arief diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka Setya Novanto.
"Saya cuma ditanya mengenai Pak Setnov (Setya Novanto). Saya tidak pernah ketemu, saya tidak pernah mengenal, itu saja," kata Arief setelah diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 15 Agustus 2017.
Baca juga: Kasus E-KTP, KPK Mendalami Peran Dirut PT Quadra Solution
Arief juga membantah aliran dana proyek e-KTP ke PT Sucofindo seperti yang disebutkan dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto. "Tidak ada karena kami kan kerjanya hanya bimbingan teknis, pendampingan teknis," ucapnya.
Arief pernah bersaksi dalam persidangan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto pada Kamis, 4 Mei 2017. Saat ditanya jaksa ihwal keuntungan yang didapat perusahaannya dalam proyek e-KTP, Arief mengungkapkan, pada 2011, PT Sucofindo justru merugi jika hanya mengandalkan pekerjaan terkait dengan konsorsium. Keuntungan sebesar Rp 8 miliar lebih, kata Arief, justru diperoleh saat mengerjakan tugas tambahan.
PT Sucofindo merupakan salah satu anggota konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) yang memenangi tender proyek pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Dalam putusan terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto, PT Sucofindo disebut menerima Rp 8,231 miliar terkait dengan proyek e-KTP yang menghabiskan anggaran Rp 5,95 triliun itu.
Simak pula: Cara Setya Novanto dan Andi Narogong Atur Duit E-KTP Dibeber di Pengadilan
KPK, pada Senin, 17 Juli 2017, telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP secara nasional tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri. Anggota DPR RI periode 2009-2014 itu diduga menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi sehingga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun.
ANTARA | ARKHELAUS W.