TEMPO.CO, Yogyakarta - Puluhan warga dari Kampung Klitren dan Demangan, Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta, ramai-ramai memblokir akses jalan masuk ke kampung mereka terkait dengan dugaan rencana penggusuran.
Pemblokiran jalan yang dilakukan sejak Senin pagi, 14 Agustus 2017, itu sebagai bentuk perlawanan atas rencana penggusuran oleh PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).
Aksi blokir jalan itu dilakukan menyusul adanya perwakilan dari PT KAI Daerah Operasi VI Yogyakarta yang menyerahkan surat edaran tentang pendataan bangunan di Emplasemen Balai Yasa PT KAI seminggu sebelumnya.
Baca juga: Ombudsman Akan Lapor Presiden Jika KAI Gusur Warga Manggarai
Dari yang Tempo baca, tak ada kata “relokasi” dalam surat edaran itu. Namun warga menduga kuat pendataan itu mengarah ke relokasi atau penggusuran. Sebab, sebelumnya, warga mendapat informasi dari petugas PT KAI akan ada pembuatan depo sebagai pengembangan Balai Yasa, yang selama ini menjadi lokasi bengkel kereta PT KAI Daop VI.
“Total ada lima RW (rukun warga) yang rencananya didata, padahal tanah itu statusnya Sultan Ground yang dihuni ribuan warga” ujar Santoso, tokoh warga Demangan yang turut menerima surat edaran itu, Selasa, 15 Agustus 2017.
Baca juga: Puluhan Kios di Pasar Kembang Yogyakarta Dibongkar
Tiap RW di kampung itu memiliki empat sampai lima rukun tetangga (RT). Setiap RT terdiri atas 50 keluarga. Lima RW itu meliputi empat RW di Kampung Demangan dan satu RW di Kampung Klitren.
Lokasi kampung itu berada di belakang bengkel kereta Balai Yasa. Rumah-rumah di kampung itu di masa lalu merupakan rumah dinas para pegawai PT KAI, yang kemudian turun-temurun ditempati anak cucu. Di tengah kampung itu juga masih terdapat sebuah rel kereta yang aktif sebagai jalan kereta menuju bengkel untuk perbaikan.
Santoso menyebut PT KAI, melalui surat edaran pendataan itu, jelas salah alamat. “Kami hanya mengakui ini tanah keraton (Sultan Ground), bukan milik PT KAI. Jadi yang berhak mendata, keraton,” ujarnya.
Meski diakui keraton, sampai saat ini para warga pun belum mengantongi surat perizinan penggunaan tanah dari keraton. Biasanya, perizinan penggunaan tanah keraton (kekancingan) ini dilakukan melalui lembaga pertanahan keraton bernama Panitikismo. “Sejak 2007 kami sudah mengajukan surat kekancingan ke keraton tapi belum selesai diurus,” ujar Santoso.
Baca juga: KAI Siapkan Anggaran untuk Menata Stasiun Tugu
Warga menolak penggusuran oleh PT KAI Daop VI di kawasan kios area Pasar Kembang Yogyakarta pada Juli 2017 terjadi di kampung mereka. Saat itu 80 kios warga tergusur untuk pembangunan jalur pedestrian yang terintegrasi dengan Malioboro. “Kami mau dialog jalan tengah, jangan asal buang seperti sampah,” kata Santoso.
Manajer Hubungan Masyarakat PT KAI Daop VI Eko Budianto membenarkan pihaknya telah melakukan pendataan ke kampung itu, tapi baru 35 keluarga yang bersedia tanda tangan. “Bunyi suratnya kan pendataan, jadi kami hanya pendataan, kami tidak tahu urusan relokasi,” ucap Eko.
Eko menuturkan pihaknya hanya mendata bangunan yang ada sebagai aset PT KAI. Tidak ada sangkut pautnya dengan tanah Sultan Ground karena memang bangunan itu semuanya ada di atas tanah keraton. “Pendataan itu tugas kami sebagai pertanggungjawaban ketika ditanya pihak terkait bagaimana status aset PT KAI,” ujarnya.
Eko tak mau berspekulasi apakah pendataan itu mengarah ke relokasi atau penggusuran warga. Ia hanya menegaskan pendataan aset bagian dari hak PT KAI untuk pertanggungjawaban. “Mosok mendata sendiri asetnya tidak bisa, terus kami mau jawab apa jika ditanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” tuturnya.
PRIBADI WICAKSONO