TEMPO.CO, Jakarta - “Saya ingin bunuh diri.” Indri Mahadiraka Rumamby terbiasa mendengar kalimat lewat telepon seperti itu. Nomor pribadinya, 0812-8332-6501, ia publikasikan di fan page Facebook Save Yourselves, sebuah organisasi sosial yang melayani konseling kesehatan mental. Tempo.co memilihnya menjadi salah satu tokoh dalam edisi khusus Hari Kemerdekaan 17 Agustus bertema Generasi Inspiratif.
Di organisasi yang punya 8,000 anggota itu, perempuan 23 tahun ini menjabat CEO. Hampir setahun bergelut di organisasi nonprofit ini, Indri tak asing dengan getar-getar suara di balik kalimat pemberitahuan bunuh diri. Mereka yang meneleponnya biasanya mengontak dia ketika hendak terjun dari ketinggian.
Dengan kalimat-kalimat yang tenang Indri mengajak mengobrol untuk tahu lokasi si penelepon. Begitu tiba di lokasi, Indri mengajak si penelepon untuk mengbrol secara langsung. “Ngapain lu di situ, coba ke sini turun dulu,” ujar Indri mengulang bujukannya ketika diwawancara Tempo.co pada 7 Agustus 2017.
Menurut Indri, ia dan para relawan Save Yourselves harus pandai membuat orang yang akan bunuh diri menjauhi lokasi yang akan dijadikannya tempat untuk menghabisi nyawanya sendiri. “Kami menggunakan berbagai cara untuk mengalihkan perhatiannya dan membuatnya tenang, jika keadaan sudah aman barulah kami mendekati,” ujarnya.
Selain orang yang akan lompat dari ketinggian gedung, Indri pernah menerima telepon saat orang ingin bunuh diri dengan menyayat-nyayat tubuhnya. “Kami minta dia membuang pisau lebih dulu, yang penting kami harus buat dia juh dulu dari zona ingin matinya,” ujar dia. Karena jika seseorang sedang dalam kondisi akan bunuh diri, menurut Indri mereka tak boleh agresif. “Takutnya malah mereka lebih nekat,” ujarnya.
Pengalaman lain yang menurut Indri masih diingatnya dengan baik adalah saat seorang perempuan mengadu karena acap dipukuli orang tuanya. Kemudian dia juga diperkosa oleh pamannya. Indri menawarkan agar perkara itu dibawa ke ranah hukum. “Tapi dia tak mau,” kata Indri.
Ada pula kisah yang lebih membuatnya miris. Seorang perempuan mengaku dipaksa aborsi oleh ibu dari pacarnya. Tapi setelah aborsi, perempuan itu justru ditinggal sang pacar.
Mereka yang menghubungi Save Yourselves, kata Indri, berusia antara 18-30 tahun. Ketika mengadukan segala permasalahan hidupnya, mereka mengatakan kalimat-kalimat miris yang membuat ia deg-degan. “Seperti bilang saya mau mati, mau mati aja,” kata Indri.
Karena banyak menerima pengaduan-pengaduan itu, Indri mengenal dua tipe. Tipe pertama adalah mereka yang hanya ingin didengar keluhan-keluhannya. Orang dengan tipe seperti ini, kata Indri, akan menolak jika diberikan saran untuk masalah yang mereka keluhkan.
Tipe kedua adalah orang yang ingin mencari solusi. Kepada orang-orang dengan tipe seperti ini, Indri dan para relawan Save Yourselves memberikan tips. Semua tips itu diberikan para relawan melalui layanan aplikasi Line di telepon seluler atau telepon. “Kami tidak pernah tatap muka,” ujarnya.
Akun yang terdaftar di akun Line @vol7047h mencapai 8.000. Di Facebook, fan page @saveyourselvesid diikuti 1.926 per Ahad kemarin dengan jumlah like sebanyak 1.907. Di Instagram mereka juga aktif memberikan konseling.
Organisasi ini didirikan Indri pada September 2016 bersama adiknya, Rifa Respati. Layanan konseling sepenuhnya berbasis daring dan aplikasi. Pada Oktober tahun lalu, aplikasi Save Yourselves terpilih menjuarai ajang Start-Up Weekend Jakarta. “Tujuannya untuk mencegah orang bunuh diri,” kata Indri.
Karena berbasis daring, Indri menyediakan web www.saveyourselves.org untuk segala informasi dan tata cara konseling, edukasi, dan pengaduan kesehatan mental. Konseling itu sepenuhnya gratis. Di web itu ia menulis bahwa di Indonesia rata-rata 82 orang meninggal karena bunuh diri. Usia mereka antara 15-24 tahun.
Dalam catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jumlah orang bunuh diri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2010 ada 5.000 orang meninggal dengan bunuh diri, pada 2014 jumlahnya naik 10 kali lipat, hampir menyamai jumlah bunuh diri di Jepang.
Dalam menerima berbagai pengaduan dan curahan hati itu, Indri tetap menggunakan kode etik psikologi. “Kami punya algoritma semacam quality control yang mengikuti tata cara psikologi klinis dan kode etik psikologi,” ujarnya.
Menurut Indri, dalam menerima setiap pengaduan dan keluhan itu para relawan diminta tak menghakimi, tak boleh menyerang, dan informasi mengenai pengadu tak boleh tersebar.
Kasus paling banyak ditangani Save Yourselves, kata Indri, adalah masalah keluarga. Jumlahnya 35 persen, disusul problem finansial dan ekonomi sekitar 23 persen, lalu perundungan (bullying).
Karena bertujuan mencegah orang bunuh, Indri sedih jika membaca berita ada remaja yang tewas karena bunuh, seperti kakak beradik di Bandung beberapa hari lalu. “It’s a pressure on us, di mana kami selalu berpikir, aduh coba kami bisa mencegahnya,” kata Sarjana Teknik Sipil Universitas Indonesia angkatan 2011 ini.
Kepada para relawan, Indri meneguhkan bahwa mereka tak boleh larut dalam kesedihan. “Kami tidak bisa menyelamatkan semua orang,” ujarnya.
JULI HANTORO