TEMPO.CO, Yogyakarta - Rapat final Panitia Khusus (Pansus) Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di kantor Dewan Perwakilan Daerah DIY berlangsung alot, Senin, 24 Juli 2017.
Rapat dengan agenda verifikasi berkas persyaratan dan penetapan calon gubernur dan wakil gubernur itu berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 19.00 dengan tujuh kali masa skors karena perdebatan antaranggota panitia khusus.
Alotnya pembahasan dipicu belum selesainya polemik mengenai nama gelar Raja Keraton Sri Sultan Hamengku Buwono X yang hendak ditetapkan lagi sebagai gubernur periode 2017-2022.
"Kami berharap pihak Keraton mau mencabut Sabda Raja tahun 2015 lalu dengan Sabda Raja baru sebelum penetapan gubernur," ujar anggota Pansus DPRD, Sukarman.
Sukarman menuturkan Sabda Raja tahun 2015, yang salah satu poinnya mengubah nama gelar Sultan HB X dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono, menimbulkan kebingungan terhadap penerapan Undang-Undang Keistimewaan DIY Nomor 13 Tahun 2012.
"Padahal, dalam Undang-Undang Keistimewaan jelas mengatur nama Buwono yang diakui, bukan Bawono seperti dalam Sabda Raja," ujar anggota Fraksi Golkar itu.
Hal yang lebih membingungkan, ujar Sukarman, adalah ketika perwakilan Keraton Yogyakarta menyerahkan berkas syarat pencalonan gubernur Sri Sultan HB X pada pekan lalu, yang diserahkan dokumen bukti penobatan HB X sebagai raja keraton pada 7 Maret 1989 silam. Dokumen bukti penobatan raja keraton ini sebagai salah satu syarat kelengkapan penetapan gubernur.
"Kalau yang dipakai (maju penetapan adalah penobatan) tahun 1989, artinya Sabda Raja dicabut? Kalau dicabut, sebaiknya juga melalui Sabda Raja atau setidaknya pernyataan tertulis," ujarnya.
Perwakilan Keraton dari Kawedanan Hageng Panitropuro Kanjeng Pangeran Hario Yudhahadiningrat atau yang akrab disapa Romo Nur menuturkan segala dokumen persyaratan calon gubernur yang sudah diserahkan keraton ke DPRD sudah benar.
"Kalau ada nama lain (Hamengku Bawono), silakan ditanyakan sendiri kepada beliau (Sultan)," katanya.
Pernyataan Romo Nur itu membuat Sukarman protes dengan lantang. Sebab, yang menandatangani berkas pencalonan gubernur adalah lembaga Panitropuro sendiri. Sukarman tak merasa puas dengan kehadiran Panitropuro Keraton karena tak bisa menjelaskan ihwal dua gelar nama Sultan itu.
Namun Romo Nur menyatakan nama ganda di lingkungan keraton adalah hal wajar. Misalnya, di luar keraton, cucu HB VIII dikenal dengan sapaan Romo Nuryanto. Namun di kompleks Keraton ia dikenal sebagai KPH Yudhahadiningrat.
"Bukan wewenang saya menjelaskan adanya nama lain beliau (Sultan HB X)," ucapnya.
Setelah perdebatan panjang soal gelar nama Sultan HB X itu, Pansus DPRD akhirnya menyepakati perlunya menanyakan lebih lanjut perihal nama yang diajukan untuk calon gubernur kepada Keraton. Sebab, kejelasan nama gelar Sultan mempengaruhi tiga poin persyaratan yang diajukan, yakni soal surat pencalonan sebagai gubernur, surat kesediaan pencalonan, dan surat pengukuhan Sultan HB X sebagai Raja Keraton.
Ketua DPRD DIY Youke Indra Agung Laksana mengakhiri rapat dengan mengesahkan dua berita acara. Berita acara pertama yang dinyatakan sah adalah verifikasi persyaratan calon gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan berita acara kedua adalah penetapan Sri Sultan HB X sebagai calon gubernur dan Paku Alam X sebagai calon wakil gubernur DIY periode 2017-2022.
"Agenda selanjutnya pada Agustus nanti adalah mendengarkan visi-misi calon gubernur dan wakilnya," ujar Youke.
PRIBADI WICAKSONO