TEMPO.CO, YOGYAKARTA-- Setara Institute, organisasi yang mempromosikan pluralisme dan kemanusiaan menyebut surat edaran sejumlah Sekolah Menengah Pertama Negeri di Yogyakarta tentang penggunaan jilbab bagi siswa muslim dalam penerimaan siswa baru sebagai bentuk pemaksaan sekolah.
Peneliti Setara Institute yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, Halili, mengatakan surat edaran itu menggunakan kata harus yang artinya mewajibkan siswi beragama Islam untuk mengenakan jilbab dalam penerimaan siswi baru. Surat edaran itu menandakan sekolah tidak membuka tafsir-tafsir keagamaan atas penggunaan jilbab. "Sekolah gunakan metode pemaksaan lewat surat edaran itu," kata Halili, Jumat, 21 Juli 2017.
BACA: Edaran Jilbab di Sekolah Negeri Yogya, Politikus PKS: Apa yang Salah?
Halili berpandangan kewajiban menggunakan jilbab merupakan fenomena penguatan konservatisme di dunia pendidikan. Kejadian yang sama juga muncul di lembaga-lembaga sosial dan politik akhir-akhir ini.
Surat edaran tentang pemakaian jilbab bagi siswa muslim di sekolah negeri, kata Halili menggambarkan lemahnya pemahaman pendidik tentang sekolah negeri sebagai lembaga publik yang didanai pemerintah. Sekolah negeri diperuntukkan bagi siswa siswi dari berbagai latar belakang agama dan etnis.
Simbol-simbol keagamaan yang dipakai dalam surat edaran sekolah itu menandakan otoritas sekolah tak paham tata kelola sekolah negeri. "Mereka tak paham arti kepublikan," kata dia.
Setara Institute pernah membuat riset yang menunjukkan lembaga pendidikan menjadi aktor pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam sepuluh tahun terakhir. Lembaga pendidikan banyak yang bermasalah karena belum mempromosikan kehidupan kegamaan yang berperspektif pada penghormatan Hak Asasi Manusia dan demokrasi.
Menguatnya konservatisme di lembaga pendidikan, termasuk kewajibab penggunaan jilbab kata dia terjadi karena pemerintah daerah tidak punya perspektif yang kuat tentang multikulturalisme dan toleransi. Yogyakarta yang dikenal sebagai The City of Tolerance mengalami paradoks karena terjadi penguatan intoleransi selama lima tahun terakhir.
BACA: Jilbab di Sekolah Negeri, Sultan: Sifatnya Himbauan, Bukan Wajib
Pemerintah Dearah, kata dia kurang serius mengatasi persoalan ini. Untuk melihat masalah itu, ia menyarankan untuk mengecek sikap para pengambil kebijakan di dunia pendidikan, misalnya Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan guru-guru sekolah. "Cek relasi Dinas Pendidikan dan elit politik lokal. Jangan-jangan dinas hanya bekerja menyenangkan hati para elit politik soal kebijakan sekolah," kata dia.
Menurut dia, alasan sekolah mengharuskan jilbab bagi siswi muslim sebagai bagian dari pendidikan karakter tidak tepat. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menghormati aspek-aspek universal, misalnya mengajarkan kejujuran dan merdeka dari tekanan.
Selain itu, lemahnya sikap kritis orang tua juga berkontribusi terhadap gejala konservatisme di sekolah. Orang tua jarang protes karena menganggap isu itu sensitif. Tidak kritisnya orang tua menggambarkan ketidakberdayaan. "Lemahnya daya kritis orang tua memunculkan kebenaran tunggal soal penggunaan jilbab di sekolah negeri," kata dia.
Ia mendorong masyarakat sipil untuk berani mengkritik institusi pendidikan yang melakukan pemaksaan, termasuk penggunaan jilbab bagi siswi muslim di sekolah negeri. Nama Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang menghargai toleransi dan kebhinekaan menjadi pertaruhan. "Yogyakarta seharusnya jadi miniatur kebhinekaan dan menjadi contoh bagi daerah lain," kata dia.
Sebelumnya, SMPN 7 dan SMPN 11 mengeluarkan surat edaran yang isinya mengharuskan siswi muslim mengenakan jilbab dalam penerimaan siswa siswi baru. Tapi, mereka berdalih pemakaian jilbab bagi siswi itu hanya imbauan.
SHINTA MAHARANI