TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy mengatakan pihaknya mempertimbangkan usulan pemerintah untuk kembali pada Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu presiden dan wakil presiden jika pembahasan RUU Pemilu buntu (deadlock). Sebab, menurut Lukman, penyelenggaraan pemilu harus memiliku payung hukum.
“Kalau musyawarah dan voting tidak selesai, Pemilu 2019 tidak mungkin tanpa payung hukum. Opsi membuat perpu mungkin tidak, maka muncul opsi kembali ke undang-undang yang lama,” kata Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin malam, 10 Juli 2017.
Baca : Keputusan Isu Krusial RUU Pemilu Kembali Tertunda
Lukman menilai peraturan pengganti perundang-undangan hampir tidak dapat dilaksanakan lantaran ada unsur darurat yang tidak bisa dipenuhi pemerintah. Pengembalian kepada UU 42/2008 ini berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan pemilu pada 2019 diadakan serentak.
Kegagalan membuat payung hukum yang baru, kata dia, memberikan peluang Komisi Pemilihan Umum menerjemahkan prinsip keserentakan sendiri.
Meski begitu, Lukman menilai pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 berpotensi gaduh tanpa payung hukum baru. “Bisa dilaksanakan dengan segala keterbatasan,” kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu. Ia juga menilai opsi ini bakal menimbulkan kegaduhan politik dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas parlemen yang tidak berhasil membuat payung hukum Pemilu 2019.
Pada Senin malam, Pansus RUU Pemilu kembali menunda pengambilan keputusan sikap pansus terkait lima isu krusial dalam RUU. Isu krusial itu adalah ambang batas presidensial, ambang batas parlementer, metode konversi suara, pembagian wilayah daerah pemilihan, dan sistem pemilu yang akan digunakan. Pansus menargetkan keputusan sudah dapat diambil pada 12 Juli 2017, hingga bisa dilaporkan di Paripurna pada 20 Juli 2017 mendatang.
ARKHELAUS W. | EGI ADYATAMA