TEMPO.CO, Jakarta - Imam Besar Front Pembela Islam atau FPI Muhammad Rizieq Syihab
mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah, yaitu rekonsiliasi atau revolusi. Menurutnya ultimatum itu bukan berarti dia menyerah, namun justru sikap kesatria para ulama sebagai implementasi semangat aksi bela Islam.
"Implementasi ruh aksi 411 dan 212 yang selalu mengedepankan dialog dan perdamaian dengan semua pihak," kata kata Rizieq Syihab dalam sebuah rekaman suara yang disebarluaskan oleh Juru Bicara FPI Slamet Maarif, Senin, 3 Juli 2017.
Baca: Usai Lebaran di Yaman, Rizieq Syihab Kembali ke Arab Besok
Meski begitu, Rizieq memberi syarat untuk melakukan rekonsiliasi tersebut. Syaratnya adalah menghentikan perkara-perkara yang melibatkan ulama dan aktivis atau yang dalam bahasa Rizieq disebut kriminalisasi ulama dan aktivis. Selain itu juga menghentikan penistaan terhadap agama apapun.
Rekonsiliasi, kata Rizieq, tak akan bisa dilakukan tanpa penghentian penyebaran paham komunis, liberal dan paham sesat lainnya. Syarat lainnya adalah pemerintah harus menjunjung tinggi asas musyawarah dan asas proporsionalitas di berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Simak: Kapolda: Pemeriksaan Kasus Pornografi Rizieq FPI Jalan Terus
Menurut Rizieq jika semua itu tak bisa dipenuhi, maka hanya revolusi sebagai cara mewujudkan rekonsiliasi nasional bagi keutuhan NKRI. "Tak ada pilihan lain bagi rakyat dan bangsa Indonesia kecuali revolusi."
Sebelumnya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menemui Presiden Joko Widodo di hari pertama Lebaran kemarin. Dalam pertemuan tersebut sempat dibahas kasus yang menjerat Rizieq.
Lihat: Rizieq FPI: GNPF MUI dan Jokowi Bertemu, Bukan Pengkhianatan
Kepada Presiden, Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir mengatakan polisi telah mengkriminalisasi ulama, termasuk menyematkan status tersangka kepada Rizieq. Bachtiar dan Rizieq juga pernah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor dan rumah dinas. Tema pembicaraan soal penilaian kriminalisasi terhadap Rizieq Syihab.
DIKO OKTARA