TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menuturkan lembaganya mencatat pada tahun ini, hingga 20 Juni 2017, ada sedikitnya 26 narapidana kabur dari rutan dan lapas di Indonesia. “Problem melarikan diri dari rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia tidak terlepas dari masalah laten kelebihan beban penghuni,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 21 Juni 2017.
Supriyadi mengungkapkan, kapasitas rutan dan lapas di Indonesia hanya 122.204 orang. Namun jumlah penghuninya mencapai 225.835 orang atau kelebihan beban penghuni 185 persen. Ia menilai dampak yang akan timbul adalah risiko keamanan dan potensi melarikan diri.
Penelitian ICJR pada 2014 menyebut kelebihan beban penghuni menyebabkan hanya sebagian blok yang dikunci pada malam hari. Akibatnya, kemungkinan napi melarikan diri menjadi tinggi. “Hal ini memunculkan risiko keamanan yang besar, baik di antara penghuni maupun antara penghuni dan petugas,” ujar Supriyadi.
Baca: Napi WNA Lapas Kerobokan Kabur, Polisi Periksa Lubang Pelarian
Kelebihan beban itu pun berdampak pada membengkaknya rasio antara petugas dan penghuni. Pada 2014 rasionya 1 berbanding 44. Pada 2016, rasionya membengkak menjadi 1 petugas berbanding 55 narapidana.
Di Rutan Salemba, kata Supriyadi, pada 2016 rasio mencapai 1 berbanding 161 orang. Sedangkan di Lapas Banjarmasin rasio pada 2014 sempat berada di angka 1 banding 450 orang.
Supriyadi menilai persoalan itu melekat pada arah kebijakan pemidanaan nasional. Pemerintah dinilai masih mengedepankan pemenjaraan dan potensi overkriminalisasi di Indonesia. “Jumlah pemenjaraan yang tinggi sangat jarang diimbangi dengan alternatif pemidanaan selain penjara,” tuturnya.
Baca: Kasus Napi Pekanbaru Kabur, Komnas HAM Temukan Pelanggaran Hak
Pemerintah justru merekomendasikan sejumlah undang-undang yang sangat erat dengan kriminal dan pemenjaraan. Misalnya RUU KUHP yang tengah dibahas di DPR. Dia menyebut dalam aturan itu ada 1.154 perbuatan pidana yang dapat diancam pidana penjara. Belum lagi apabila ditambah dengan Undang-Undang Narkotika. Ia menilai pemerintah seolah tak mengevaluasi tujuan dari pemidanaan.
Untuk itu, Supriyadi mendorong pemerintah mengevaluasi serius kebijakan pemidanaan di Indonesia, khususnya mengantisipasi overkriminalisasi untuk meminimalkan kepadatan di dalam lapas. Persoalan dalam lapas, ujar dia, tidak akan pernah selesai kalau pemerintah memang merancangnya sebagai tempat akhir untuk menampung beban peradilan pidana tanpa secara serius mengevaluasi kebijakan pemidanaan.
DANANG FIRMANTO