TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nurcholis mengusulkan adanya sistem transparansi bagi perusahaan yang hendak menyumbang kepada kandidat dalam Pemilu.
“Kami mengusulkan sistem terbuka seperti negara-negara maju. Jadi misalnya mau menyumbang ke politisi itu harus mendaftarkan ke bank terlebih dahulu, sebelum selanjutnya diteruskan ke kandidat. Jadi kita mau bikin hubungan negara dan korporasi lebih normal hubungannya,” ujar dia selepas peluncuran Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM di Gedung Sari San Pacific, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat, 16 Juni 2017.
Baca juga: Jika Disetujui, Pelatihan Saksi Pemilu Sedot APBN Rp 11 Triliun
Pasalnya, Nurcholis mengatakan saat ini hubungan antara korporasi dengan negara terasa terlalu dekat dibandingkan dengan hubungan negara dengan masyarakat. Padahal, semestinya negara lebih dekat dengan masyarakatnya dibanding dengan korporasi. Dia menduga hal itu pula yang menyebabkan penyelesaian kasus HAM yang melibatkan korporasi acapkali mentok dan tidak jelas akhir ceritanya.
Lemahnya pemerintah, menurut dia, ada hubungannya dengan biaya Pilkada yang mahal. Para kandidat kerap mendapatkan sumbangan dari korporasi untuk dapat membiayai selama keberjalanan pilkada, namun tidak ada transparansi mengenai hal itu. Dia berujar, sebenarnya korporasi boleh saja menyumbang kepada kandidat, namun polanya mesti diubah.
“Sekarang ini, pola relasi negara dan korporasi itu tidak normal. Bayangkan saja, kalau korporasi biayai suatu kandidat, dan kandidat itu menang, maka kita tahu siapa yang berkuasa. Padahal negara seharusnya independen,” dia bercerita.
Dia yakin, dengan memperkuat kembali peran negara otomatis upaya negara untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia pun dapat lebih lancar. “Sekarang sih cukup setara dulu, jadi kalau masyarakat ada curhat masalah, negara bisa menyelesaikan secara independen,” ujarnya.
CAESAR AKBAR | EA