TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama Arifin Junaidi mengatakan menolak kebijakan pemberlakukan lima hari per 8 jam belajar di sekolah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Jika kebijakan Mendikbud dipaksakan dapat menimbulkan gejolak di masyarakat serta berdampak sistemik bagi peserta didik di kemudian hari, kami tidak ikut bertanggung jawab," kata Arifin dalam siaran tertulisnya, Rabu, 14 Juni 2017.
Arifin menilai Indonesia membutuhkan arsitektur sistem pendidikan yang berorientasi jangka panjang, bukan setiap ganti Menteri Pendidikan kebijakannya berganti pula. Arifin melihat, jika hal itu terjadi, pendidikan hanya sekedar menjadi tempat uji coba atau game politik yang akan berdampak pada masa depan generasi.
Baca: Menteri Pendidikan: Peraturan Sekolah Lima Hari Sudah Terbit
Arifin menyebutkan sejumlah hal yang menjadi dasar Maarif NU menolak kebijakan tersebut. Ia menilai kebijakan lima hari per 8 jam belajar di sekolah bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
"Tidak senapas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan untuk mengembangkan model pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah atau madrasah masing-masing," kata Arif.
Menurut Arifin kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang baru itu juga berpotensi besar mempengaruhi jumlah jam mengajar guru di sekolah melebihi batasan yang telah diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang tentang Guru dan Dosen. Dalam aturan itu, beban kerja guru adalah sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka, dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu pekan.
Simak: Sekolah 5 Hari, IPNU: Sama Konsep yang Pernah Ditolak Jokowi
Berdasarkan perspektif sosio-kultural, Arifin menuturkan, kebijakan 5 hari per 8 jam belajar di sekolah juga tidak senapas dengan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam dan multikultur. Semestinya, kata dia, sistem pendidikan harus relevan. "Bukan justru bertentangan dengan potret faktual sosio-kultural masyarakat," ujarnya.
Dilihat dari peta kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan, Arifin mengatakan kebijakan baru 5 hari per 8 jam belajar di sekolah merupakan sistem layanan pendidikan yang menjawab kebutuhan kelas sosial tertentu, khususnya kelompok masyarakat urban.
Menteri Pendidikan, dia berujar, seharusnya memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan untuk memilih model tersebut dalam memenuhi kelompok masyarakat tertentu. "Bukan memaksakan model tersebut direalisasikan untuk semua satuan pendidikan di Indonesia. Jika hal ini terjadi, justru merupakan bentuk degradasi sistem pendidikan nasional," ucapnya.
Lihat: Pemkot Surakarta Berharap Pelaksanaan Full Day School Bertahap
Arifin mengungkapkan, ada tiga hal untuk membangun sistem pendidikan holistik yang menjawab kebutuhan masa depan pendidikan Indonesia. Tiga hal tersebut antara lain memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dalam pendidikan, dan memperkuat keterlibatan masyarakat.
Menurut dia, semakin kompleksnya anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang bukan karena kurangnya jam belajar di sekolah. "Tetapi layanan pendidikan di sekolah yang perlu dievaluasi, peran keluarga yang perlu dikuatkan, keterlibatan lingkungan sosial yang perlu dipastikan," katanya.
Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meyakini rencana penerapan lima hari sekolah atau full day school (FDS) tidak akan membebani peserta didik. Sebab, menurut Mendibud, murid tidak akan berada di dalam kelas selama delapan jam sehari dan diberi pelajaran terus-menerus.
"Masih ada persepsi yang salah di sebagian masyarakat seolah anak-anak akan di kelas (selama) delapan jam diberi pelajaran terus-menerus. Sama sekali tidak," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 13 Juni 2017.
FRISKI RIANA