TEMPO.CO, Yogyakarta - Warga Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo resah karena terancam kehilangan lahannya di tepi Kali Progo. Lahan persawahan di tepi Kali Progo sekitar 150 hektare. "Pada 1980-an sepertiga lahan itu hilang karena air sungai meluap, sekarang muncul lagi,” ujar Djazil Ahmadi, warga Desa Banaran Kulon Progo saat mengadukan persoalan itu ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY di DPRD DIY, Selasa 13 Juni 2017.
Djazil menuturkan, tanah 150 hektare yang mencakup 200 bidang tanah di tepi Kali Progo awalnya dimiliki oleh sekitar 200 kepala keluarga dalam bentuk letter C. Kemudian pada 1970-an saat Kali Progo meluap, sekitar 50 hektare lahan menghilang. Pada 1980, lahan yang hilang itu muncul lagi. Balai Besar Wilayah Sungai Opak (BBWSO) kemudian membangun tanggul jembatan karena mengklaim lahan yang hilang sudah menjadi tanah negara.
“Setelah erupsi Gunung Merapi 2010, di tepian Kali Progo itu terjadi pendangkalan dan lahan bekas milik warga semakin terlihat, namun kami sudah tidak bisa mensertifikatkan karena sudah dianggap milik negara,” ujar Djazil.
Para warga yang tanahnya sempat menghilang itu pun akhirnya membentuk paguyuban Kismo Muncul guna mendapatkan kembali lahan hilang itu. Warga mendesak pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional bisa membantu mensertifikatkan lahan dari status awal Letter C menjadi Surat Hak Milik (SHM).
Djazil menuturkan, dari total 150 hektare lahan setiap keluarga memiliki bukti kepemilikan awal berupa letter C. Warga berharap bukti awal itu bisa diajukan untuk mengusurs sertfikasi lahan menjadi hak milik, walaupun tanah itu sempat menghilang. “Apalagi di bekas lahan yang hilang itu akan dilalui proyek JJLS (Jalur Jalan Lingkar Selatan), kami bisa tidak dapat ganti rugi jika tak bisa mensertfikatkan lahan itu,” ujar Djazil.
Wakil Ketua Komisi A DPRD DIY, Sukarman menuturkan, telah mengecek bekas lahan yang hilang. “Memang ada bekas tanggul lahan hilang itu dan juga bukti kepemilikan letter C dari warga,” ujarnya. Hanya saja masalahnya, sekarang lahan yang muncul lagi itu berada di dalam area yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai Opak dan diklaim jadi tanah negara.
Kepala Seksi Pemiliharan Data Hak Atas Tanah dan Pembinaan Pejabat Pembuat Akta Tanah, BPN Daerah Istimewa Yogyakarta, Miyanta, menuturkan, lahan yang hilang akibat bencana seperti sungai meluap lalu muncul lagi, secara hukum (UU Agraria) hilang hak kepemilikannya dan menjadi milik negara. “Namun, hak penguasaan tanah hilang itu bisa diajukan kembali kepada BPN dengan menunjukkan bukti kepemilikan,” ujarnya.
Miyanta menuturkan, status tanah otomatis menjadi milik negara karena beberapa hal. Pertama akibat bencana/perang, ditelantarkan dalam waktu lama, dan diserahkan pemiliknya secara sukarela. “Tentu saja setelah persoalan klaim dengan Balai Besar Wilayah Sungai Opak clear, permohonan warga bisa ditindaklanjuti, karena sekarang ada dua pihak yang merasa memiliki,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO