TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti utama dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar Pabottingi, menilai tidak sepatutnya DPR melancarkan hak angket KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sebab, hak angket DPR berpotensi mematikan langkah pemberantasan rasuah.
Mochtar mengatakan tindak pidana korupsi sama dengan tindakan terorisme. Untuk itu, jika DPR membela koruptor, berarti mereka membela teroris. “Teroris itu indiscriminate killing. Membunuh tanpa pandang bulu. Korupsi juga begitu, sama-sama menghancurkan orang-orang tanpa pandang bulu,” kata Mochtar di Graha Almeira, Jakarta Selatan, Selasa, 13 Juni 2017.
Lihat juga: Soal Hak Angket, Sikap Fadli Zon Disebut Kerdilkan DPR
Menurut Mochtar, panitia angket KPK yang dibentuk Dewan itu juga sama dengan teroris. Sebab, anggota Dewan yang tergabung menjadi panitia angket itu memaksakan kehendak tanpa kebenaran. Mereka, kata Mochtar, tidak menggunakan regulasi dengan benar. “Dia menggunakan might, bukan right. DPR ini harus kita cecar,” ujarnya.
Sebagai wakil rakyat, DPR tidak seharusnya sewenang-wenang menggunakan kekuasaan. Terlebih, kata Mochtar, korupsi adalah tindakan yang membahayakan kepentingan banyak orang.
Mochtar mengatakan satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah DPR ini adalah menggunakan tekanan dari masyarakat. Publik juga harus menekan Presiden Joko Widodo untuk mengimbau partai pendukungnya agar mundur dari panitia angket. “Hanya itu caranya,” tuturnya.
Baca: Pansus Hak Angket KPK Mulai Bekerja, Istana: Silakan Saja
Mochtar berujar, angket KPK ini adalah ujian bagi Presiden Jokowi. Jika Presiden tak mampu menghentikannya, masyarakat akan mengenangnya sebagai kepala negara yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi.
Akibatnya, kata Mochtar, peluang Jokowi dipilih dalam pilpres periode selanjutnya akan kecil bila kalah dengan upaya DPR menggulirkan hak angket KPK. “Ini harga yang harus dibayar Presiden kalau dia tidak mendukung pemberantasan korupsi,” ucapnya.
MAYA AYU PUSPITASARI