Rahma Gafmi
(Penulis adalah ekonom yang aktif sebagai researcher pada Lembaga Pengembangan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga)
Baca Juga:
Perekonomian Cina melambat akibat merosotnya ekspor ke Amerika Serikat karena kebijakan proteksionis yang diterapkan Donald Trump. Situasi ini membawa dampak tidak langsung bagi Indonesia karena Negeri Tirai Bambu itu merupakan tujuan utama ekspor produk nonminyak Tanah Air.
Selain dari faktor eksternal, perekonomian Indonesia juga menghadapi shock dari internal. Salah satunya karena defisit fiskal yang masih besar akibat belum optimalnya penghimpunan pajak. Beberapa kebijakan dari sisi fiskal ketat, seperti kenaikan pajak surat tanda nomor kendaraan bermotor tampaknya juga berpengaruh terhadap penurunan daya beli masyarakat. Ditambah lagi meningkatnya tarif dasar listrik. Akibatnya, usaha yang notabene penyumbang terbesar bagi pendapatan nasional makin tertekan. Hal ini ditandai dengan semakin tingginya kredit bermasalah yang dihadapi dunia perbankan.
Melemahnya daya beli masyarakat terlihat hingga pekan ke dua Ramadan. Biasanya, memasuki minggu kedua Ramadan, masyarakat sudah berbondong-bondong mendatangi tempat berbelanja. Namun suasana pasar cenderung sepi. Ini terlihat, misalnya, dari keluhan para pengusaha retail di Surabaya. Saya yakin ini juga terjadi di semua wilayah Nusantara.
Baca Juga:
Mengapa Penurunan Daya Beli Masyarakat Terjadi?
Perekonomian global masih berada pada ketidakpastian karena lesunya harga komoditas. Ini berdampak pada turunnya pendapatan riil masyarakat. Sedangkan pertumbuhan ekonomi masih dinikmati 10-20 persen masyarakat kalangan atas. Struktur ekonomi masih dikuasai sektor informal yang tidak tampak ada perobahan sejak masa reformasi. Produktivitas sektor usaha mikro, kecil, dan menengah juga harus ditingkatkan akibat skill tenaga kerja masih rendah.
Penghasilan petani di pedesaan juga terbatas akibat lahan yang mereka miliki terbatas. Faktor cuaca akibat adanya El-Nino juga mempengaruhi hasil pertanian. Dampaknya, harga pokok dasar petani juga menurun, sementara harga kebutuhan pokok semakin melambung serta pasokan tidak tersedia dan tidak terdistribusi akibat sebagian proyek infrastruktur masih berjalan.
Pemerintah berfokus pada infrstruktur untuk mengatasi interconnectedness antarwilayah. Namun itu tidak cukup untuk mendorong output tanpa adanya demand. Perekonomian tidak bisa langsung lepas landas karena adanya jalan, pelabuhan, dan bandar udara yang bagus. Itu semua cuma sarana untuk menopang aktivitas ekonomi. Kita harus bisa terus memproduksi dan memperluas lapangan kerja. Karena itu, kita butuh labor intensive, bukan capital intensive. Pembangunan infrastruktur memang punya dampak pada kesempatan kerja, tapi hanya sesaat. Sebab, apabila proyek selesai, pekerjaannya juga selesai.
Problem kita saat ini ada di mikro, yaitu sektor produksi, distribusi, dan logistik. Bagaimana caranya pemerintah membuat kebijakan radikal supaya konsumsi ini bisa beralih pada investasi. Saya melihat, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen saja, kita butuh pertumbuhan kredit minimal 20 persen. Sedangkan pertumbuhan kredit diperkirakan 12 persen, realisasinya pada 2016 tidak sampai 10 persen. Nah, inilah sebenarnya yang menghambat tumbuhnya investasi baru untuk memperluas penyerapan kerja. Sehingga banyak pelaku usaha yang juga wait and see untuk diteruskan apa relokasi?
Walaupun demikian, saya masih optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 masih tetap bertahan di level 5,2 persen, tapi tidak akan ke level 6 persen, dengan alasan yang sudah saya sampaikan di atas. Jika melihat pertumbuhan ekonomi kita yang positif, pertumbuhan itu belum berkualitas karena masih property is non-tradable. Kita perlu diversifikasi produk dan membangun sektor manufaktur untuk ekspor yang bisa menghasilkan devisa. (*)