TEMPO.CO, Yogyakarta - Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Ir Panut Mulyono menuturkan pihak kampus selayaknya turut terlibat untuk mencegah berkembangnya gerakan radikalisme yang bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Dasar pedoman negara ini sudah jelas, kalau sekedar belajar paham lain, memperdalam agama, ideologi politik silahkan saja, asal bukan untuk odo-odo (berusaha) untuk mengganti Pancasila,” ujar Panut disela pelantikan pengurus Dewan Pendidikan DIY di Komplek Kantor Gubernur DIY, Yogyakarta, Jumat 2 Juni 2017.
Baca : Pemerintah Indonesia Antisipasi Larinya ISIS dari Filipina
Merespon riuhnya isu radikalisme dan ujaran kebencian bernuansa SARA di belakangan di tanah air, Panut menuturkan pihaknya telah mengambil langkah-langkah dini agar kampus turut jadi benteng penjaga Pancasila. Bukan malah semakin memprovokasi perpecahan. Terlebih komunitas mahasiswa di UGM cukup besar dan beragam latar belakang.
“Misalnya saat penerimaan mahasiswa baru, yang sering dinilai jadi momen rekrutmen dan penanaman paham radikal suatu kelompok tertentu,” ujar Panut.
Panut menengarai, momen penerimaan mahasiswa baru yang didomplengi penanaman paham radikal itu bisa terjadi karena berbagai sebab.
Simak : Wiranto: Ada Indikasi Marawi Dijadikan Lokasi Konvergensi ISIS
Terutama karena mahasiswa baru sangat polos dan blank, lalu mendapat tawaran bantuan dan fasilitas dari suatu kelompok sehingga bisa lebih dekat mahasiswa itu sebelum akhirnya dipengaruhi menganut paham radikal.
“Biar mahasiswa baru ini nggak terjebak pengaruh paham radikal, kampus yang harus mengelola,” ujarnya. Contoh pengelolaan mahasiswa baru itu, ujar Panut, misalnya saat masa orientasi. Bukan lagi kelompok mahasiswa yang menangani penuh orientasi, namun kampus yang tangani dengan tetap melibatkan kelompok mahasiswa yang ada sebagai mitra.
Tak hanya mahasiswa baru yang ditangani langsung kampus. Panut menuturkan, di akhir masa jabatan mantan rector Dwi Korita tahun 2016 lalu, pihak UGM kini juga telah mengambil alih pengelolaan sarana fasilitas yang dinilai berpotensi menjadi ajang menyebarkan paham radikalisme.
Baca juga : Wapres JK: Revisi UU Anti-Terorisme Untuk Cegah Serangan Teroris
“Masjid kampus UGM sekarang juga dikelola penuh kampus melalui badan yang ditangani dosen-dosen, bukan lagi yayasan,” ujar Panut. Panut menambahkan, dosen-dosen UGM terlibat dalam suatu komunitas bernama jamaah Salahuddin yang turut mengelola masjid kampus UGM itu.
Dari komunitas jamaah Salahuddin ini, ujar Panut, kegiatan kemahasiswaan bisa terpantau lebih baik. Misalnya saat bulan Ramadan, dalam mencari penceramah akan difilter agar mendapatkan Jamaah Salahuddin bisa mendapat penceramah yang satu visi dengan kampus UGM.
“Penceramah yang bisa membawa suasana menyejukkan, bukan provokasi paham radikal yang mengancam NKRI,” ujarnya. "Kampus itu penjaga ideologi, dan UGM adalah kampus Pancasila.
PRIBADI WICAKSONO