TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah kegembiraan atas meningkatnya peringkat investasi Indonesia, pemerintah Presiden Joko Widodo dihadapkan pada masalah besar intoleransi. Pada separuh periode pertama pemerintahannya ini, berbagai tindakan sekelompok masyarakat yang menodai keberagaman meningkat. (Baca: Jokowi Gunakan Komik dan Vlog Hadapi Kelompok Anti-Pancasila)
Presiden pun perlu menggunakan kata tegas untuk menghadapi masalah itu, yakni “gebuk.” Dalam wawancara khusus hampir satu jam dengan Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, Istman Musaharun, dan Raymundus Rikang dari Tempo, ia mengatakan, ancaman nyata itu tidak bisa dihadapi dengan kata normatif dan setengah-setengah.
Jokowi terlihat rileks, banyak tersenyum selama wawancara. Ia ditemani juru bicara Kepresidenan, Johan Budi S.P., dan Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden Bey Machmudin.
Dalam merencanakan pembubaran organisasi semacam HTI, apakah pertimbangan politik dihitung—mengingat kelompok itu mungkin banyak pendukung?
Banyak yang bilang seperti itu ke saya. Tapi, kalau pemimpin bicara dukungan politik, persoalan mendasar semacam itu tidak akan rampung. (Baca: Gebuk Ormas Anti-Pancasila, Jokowi: Kajiannya Sudah Lama)
Artinya tidak diperhitungkan?
Ini masalah konstitusi, harus ditegakkan.
Apakah meningkatnya intoleransi di Indonesia ini akibat pemerintahan Anda tidak merangkul umat Islam?
Setiap blusukan saya menyempatkan mampir ke pesantren di daerah, bertemu ulama. Kami bertemu semuanya. Situasi seperti ini seharusnya level nasional kami rangkul, tapi di daerah juga harus ketemu.
Ada strategi lain untuk memerangi intoleransi?
Pekan ini saya akan teken surat Unit Kerja Presiden untuk Pemantapan Ideologi Pancasila. (Baca: Presiden Jokowi Segera Bentuk Unit Pemadam Intoleransi)
Soal pemberantasan terorisme yang melibatkan TNI, bagaimana konsepnya?
Semua negara mengalami hal yang sama, serangan teroris. Eropa, Amerika, dan Asia mengalaminya. Saat pertemuan negara muslim di Arab Saudi, kami menempatkan terorisme sebagai tantangan global nomor satu. Dan Indonesia diberi kesempatan untuk berbicara, saya akhirnya berbagi pengalaman Indonesia memerangi terorisme.
Seberapa genting melibatkan TNI dalam memberantas terorisme?
Dalam UU Terorisme yang ada kewenangan diberikan kepada Polri. Tapi kami ingin TNI diberikan kewenangan dan perlu pembicaraan bersama DPR dengan catatan khusus. Saya sudah perintahkan untuk memberikan ruang pemberantasan terorisme kepada TNI. Semua negara itu sama, memberikan ruang kepada militer. (Baca: Maarif Institute: Sekolah Selama Ini Permisif Ideologi Berbahaya)
Wawancara lengkap bisa dibaca di majalah Tempo edisi 5 Juni 2017.
TIM TEMPO