TEMPO.CO, Jakarta - Komnas HAM membentuk Tim Audit HAM atas tanggung jawab negara dan perusahaan dalam upaya pemulihan korban bencana lumpur Lapindo 2006-2007. Hasil audit ini akan diserahkan kepada Presiden, DPR, Kejagung, dan Polisi.
Semburan lumpur Lapindo ini telah menenggelamkan ribuan rumah penduduk selama sebelas tahun terakhir. Namun, Komnas HAM menilai penanganan bencana ini oleh pemerintah masih belum mendapat kepastian.
Baca pula:
11 Tahun Lumpur Lapindo, 84 Korban Belum Dapat Ganti Rugi
Komnas Ham terus mendorong polisi agar membuka diri terhadap pengaduan korban lumpur lapindo. Sampai saat ini, sekitar 13.000 kepala keluarga hidup dalam pengungsian.
“Keluarnya Peraturan President No 21 Tahun 2017 tentang pembubaran BPLS telah memicu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap persolan ini karena telah melahirkan regulasi yang kerap kali berubah-ubah,” kata Muhammad Nukhoiron, Komisoner Komnas HAM, Senin 29 Mei 2017.
Baca juga:
Pemerintah Tak Beri Ganti Rugi Perusahaan Korban Lumpur Lapindo
BPLS adalah singkatan dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang dibentuk pemerintah untuk menangani bencana ini dan menyalurkan dana ganti rugi kepada warga yang rumahnya terkena luapan lumpur.
Menurut catatan Komnas HAM, regulasi pemerintah telah berubah-ubah seperti terlihat dalam peraturan Presiden, yang telah berganti sebanyak empat kali.
Baca:
BPLS Dibubarkan, Ganti Rugi Fasum-Fasos Lumpur Lapindo Terancam
Perubahan pertama dari Perpres Nomor 14 Tahun 2007 menjadi Perpres Nomor 48 Tahun 2008, yang menambahkan kawasan terdampak lumpur Lapindo di tiga desa yaitu Besuk, Pajarakan, dan Kedung Cangkring.
Perpres ini juga mengatur dana jual beli tanah dan bangunan warga di kawasan itu memakai APBN.
Perubahan kedua melalui Perpres Nomor 40 Tahun 2009, yang menambahkan kawasan terdampak lumpur menjadi sembilan rukun tetangga di 3 desa yaitu Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi.
Perubahan ketiga melalui perpres Nomor 68 tahun 2011 dan perubahan ke empat melalu Perpres Nomor 37 tahun 2012, yang menambahkan kawasan terdampak bencana di sembilan desa yaitu Mindi, Ketapang, Kalitengah, Gempolsari, Gedang, Glagah Harum, Besuki Timur, Pamotan, dan Wanut.
Atas dasar itu Komnas HAM memandang Negara tidak memiliki instrumen hukum yang solid bagi upaya penegakan hukum terhadap korporasi, yang telah membawa dampak pelanggaran hak asasi manusia.
Komna HAM meminta negara untuk mengambil langkah-langkah tegas dan efektif untuk memulihkan hak-hak korban bencana. Komnas menyayangkan negara tidak mengakui bahwa bencana ini telah menimbulkan proses pelanggaran hak asasi manusia.
Sampai saat ini pemerintah dinilai gagal menghentikan semburan lumpur. Kondisi ini dinilai berbeda dengan bencana lain dimana pemerintah lokal dan nasional membuka diri dari bantuan kemanusian, baik itu nasional dan internasional.
Maka, Komnas Ham merekomendasikan kepada pemerintah atas dibubarkannya BPLS dengan melakukan sejumlah langkah sebagai berikut yaitu, mengambil langkah efektif untuk membuat rencana aksi nasional memastikan korporasi taat pada Norma HAM, mengevaluasi mekanisme jual beli dalam penyelesaian ganti rugi terhadap warga yang menjadi korban luapan lumpur dan melakukan upaya menyeluruh pemulihan korban berdasarkan prinsip HAM, dan segera mengambil langkah efektif untuk menjalankan mandat UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu juga, segera mengambil inisiatif melakukan revisi UU Kebencanaan No 24 Tahun 2007, serta segera melakukan inventarisasi/pendataan korban yang belum menikmati pemulihan.
MURDINSAH