TEMPO.CO, Kupang - Akademisi dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere, Kabupaten Sika, Pater Dr Philipus Tule SVD berpendapat paham radikalisme dapat dilawan dengan mengusung budaya damai. "Radikalisme dapat dilawan dengan mengembangkan wacana keagamaan baru dengan mengusung budaya damai," kata dosen Islamologi STFK Ledalero, Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, lewat keterangan tertulis yang diterima di Kupang, Sabtu 27 Mei 2017.
Philipus Tule saat memberikan pembinaan rohani gabungan untuk aparatur sipil negara (ASN) lingkup Pemerintah Provinsi NTT di Kupang, Jumat 26 Mei 2017, juga menekankan perlu upaya melawan radikalisme dengan usung buaya damai. Menurut penulis buku "Identitas Muslim Pribumi NTT" itu, kehadiran paham radikalisme yang marak diperbincangkan berbagai kalangan belakangan ini harus dihadapi dan dilawan dengan kekuatan nilai-nilai agama dan budaya yang telah lama hidup. (Baca: Maarif Institute: Sekolah Selama Ini Permisif Ideologi Berbahaya)
"Kekuatan utama masyarakat NTT dalam membangun toleransi dan kebhinnekaan terletak pada kemampuan masyarakatnya secara turun-temurun dalam menghayati agama dan kebudayaan secara seimbang," tutur dia.
Rohaniwan Katolik itu menjelaskan, secara etimologis, makna kata radikal, fundamental, fanatis, memiliki makna positif serta harus dimiliki setiap umat beragama. "Memang sebagai orang beriman kita harus menjadi radikal, kembali ke fundamen atau dasar agama yakni kitab suci, Injil, Alquran, teologi, Hadist, dan tradisi," katanya.
Menurutnya, orang yang sungguh kembali ke akar agamanya akan menghayati imannya secara benar, melihat nilai-nilai luhur dalam kebudayaan serta menolak penggunaan kekerasan. Kata-kata itu, lanjutnya, akan bermakna negatif ketika ditambah dengan akhiran "isme", menjadi radikalisme, fundamentalisme, fanatisme yang mengedepankan kekerasan dan pemaksaaan kehendak pada orang lain. "Radikalisme, fundamentalisme, fanatisme, hingga terorisme sesungguhnya ada dalam semua sejarah agama," ujarnya lagi. (Baca: Jokowi Ajak TNI Gebuk Organisasi Anti-Pancasila, Termasuk PKI)
Pada sisi lain, katanya, akar radikalisme dan fundamentalisme bersumber dari persoalan ekonomi, politik, dan penafsiran yang keliru terhadap agama. Menurutnya, jika kehadiran paham-paham tersebut tidak dibendung dengan baik maka dapat merusak tatanan hidup individu, masyarakat, organisasi, partai politik, hingga lingkungan pendidikan.
"Paham radikalisme di Indonesia telah mengintai remaja dan anak-anak muda kita yang masih labil untuk dijadikan pengikut atau anggota kelompok radikal," katanya.
Karena itu, lanjutnya, pemerintah dan semua komponen masyarakat bangsa harus terus meningkatkan kewaspadaan untuk membendung penyebaran paham-paham tersebut, dengan bersatu padu membongkar radikalisme lewat upaya-upaya deradikalisasi dengan menanamkan nilai-nilai cinta damai. (Baca: ITB Larang Aktivitas Ormas di Kampus, Termasuk HTI)
"Para tokoh agama juga harus bisa membina umatnya menjadi orang yang militan, tekun, berdoa, membaca kitab suci, dan taat beribadah," katanya pula. Ia menambahkan, dunia pendidikan harus mengembangkan pendidikan multikulturalisme dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. (Baca: Menristek: Dosen dan Mahasiswa Terlibat Radikalisme Kena Sanksi)
ANTARA