Menurut Gatot, pengadaan alutsista TNI sebagai bagian peralatan pertahanan keamanan harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan khususnya Undang-undang No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan.
"Pengadaan alat pertahanan keamanan produk luar negeri hanya dapat dilakukan apabila belum dapat diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri sesuai dengan pasal 43 UU 16/2012," kata Gatot menambahkan.
Baca: Polemik AW 101 Selesai, Begini Penjelasan Lengkap KSAU
Selanjutnya dalam beberapa kali rapat, masih menurut Gatot, yaitu pada 23 Februari 2016, Presiden Jokowi memberikan arahan, yang intinya seluruh kementerian atau lembaga menggunakan produk dalam negeri. Ternyata muncul perjanjian kontrak No. KJP/3000/1192/DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 antara Mabes TNI AU dengan Diratama Jaya Mandiri tentang pengadaan heli angkut AW-101.
Kemudian Panglima TNI menerbitkan surat kepada TNI AU No. B4091/ix/2016 tanggal 14 September 2016 tentang pembatalan pembelian heli AW 101. "Ini yang saya jelaskan ke presiden, tapi yang sekarang saya sampaikan tidak keseluruhan. Setelah itu presiden bertanya ke saya 'Kira-kira kerugian negara berapa bapak Panglima?'. Saya sampaikan ke presiden 'Kira-kira minimal Rp150 miliar'. Presiden menjawab, 'Menurut saya lebih dari Rp 200 miliar'. Bayangkan panglima menyampaikan (angka) seperti itu tapi Presiden lebih tahu, kan malu saya," cerita Gatot.
Baca: Soal AW 101, Panglima TNI: Jika Ada Pelanggaran Bisa Batal
Menurut Gatot, Presiden Jokowi lalu memerintahkan untuk mengejar terus pelaku pengadaan helikopter AW-101 tersebut. "Kejar terus panglima. Kita sedang mengejar tax amnesty, demikian kata Presiden. Maka saya berjanji ke Presiden akan membentuk tim investigasi sehingga saya membuat surat Panglima TNI No. Sprin 3000/xii/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang perintah membentuk Tim Investigasi Pengadaan Pembelian Heli AW 101," kata Gatot.
Investigasi TNI AU