TEMPO.CO, Banjarmasin - Badan puluhan mahasiswa itu berlumuran cat hitam. Peserta wanita mengenakan kaus serbahitam. Wajah mereka disepuh bedak putih dengan ilustrasi goresan luka menganga. Mereka bergerak pelan mengelilingi bundaran simpang empat di Hotel Arum, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Teatrikal dengan menampilkan puluhan manusia serbahitam ini menyiratkan pesan arwah-arwah gentayangan mencari keadilan.
Satu orang mengusung tongkat kematian sambil membentangkan poster bertuliskan “Usut Tuntas”. Dari bundaran Hotel Arum, massa mahasiswa bergeser ke Mitra Plaza di Jalan Pangeran Antasari. Di Mitra Plaza, mereka melakukan aksi teatrikal serupa untuk mengingatkan terntang peristiwa konflik berdarah di Kota Banjarmasin yang tak kunjung terungkap dalangnya.
Aksi teatrikal itu digarap para pegiat seni Sanggar Titian Berantai dari Universitas Islam Kalimantan (Uniska), Kota Banjarmasin. Teatrikal ini dimaksudkan melawan lupa dan mengingatkan masyarakat bahwa ada peristiwa berdarah di Banjarmasin pada 23 Mei 1997. "Jangan terulang lagi. Kepada pemuda, kami ingin mengingatkan bahwa di Banjarmasin pernah terjadi peristiwa kelam,” kata koordinator aksi, Irfan Maulana Fadillah, di sela aksi teatrikal, Selasa, 23 Mei 2017.
Baca juga:
Situasi Tak Kondusif, Aksi Baca Puisi di Banjarmasin Dibatalkan
Pada 23 Mei 1997, konflik berdarah pecah di Kota Banjarmasin. Peristiwa kelam yang menewaskan sedikitnya 130 orang itu disulut oleh bentrok massa Partai Golkar dengan warga yang kebetulan sedang menunaikan salat Jumat di Jalan Pangeran Samudera, Kota Banjarmasin. Warga memang kerap menggelar salat Jumat di tengah jalan protokol itu. Rangkaian salat Jumat belum rampung, massa Golkar menerabas puluhan muslim yang sedang khusyuk merapal doa.
Kerusuhan pun cepat meluas di Kota Banjarmasin. Massa kedua kubu saling merusak sebagian toko, rumah makan, hotel, rumah ibadah, dan pusat perbelanjaan di Jalan HM. Hasanuddin, Pangeran Samudera, Pangeran Antasari, dan M.T. Haryono. Di Mitra Plaza, ratusan orang dibakar hidup-hidup di dalam gedung, yang juga ikut ludes dilumat api. Penjarahan pun merebak di Kota Banjarmasin.
Irfan menuturkan para korban tewas itu dikubur di dalam satu liang karena susah dikenali. “Sebagian keluarga menganggap anggota keluarganya hilang, tidak bisa ditemukan,” ucap Irfan.
Dua dasawarsa berlalu, Irfan dan aksi mahasiswa itu mendesak pemerintah daerah dan otoritas berwenang mengusut tuntas tragedi kemanusiaan tersebut. Ia prihatin pemerintah tidak punya niat serius mengungkap dalang di balik kerusuhan menjelang Pemilu 1997 tersebut. “Penanganan kasus ini seolah berhenti, tidak ada tindak lanjutnya. Padahal itu peristiwa besar dan menyangkut hak asasi manusia,” ujar Irfan.
DIANANTA P. SUMEDI