TEMPO.CO, Purwakarta - Para peserta World Tolerance Conference (WTC) yang tengah berlangsung di Purwakarta, Jawa Barat, memanfaatkan forum tersebut sebagai upaya saling tukar pengalaman ihwal pelaksanaan toleransi di negaranya masing-masing.
Wakil Duta Besar Azerbaijan, Ruslan Nasibov mengatakan keiinginannya belajar soal toleransi ke Purwakarta. "Saya sangat senang, karena Purwakarta sangat toleran. Dan, saya mau belajar soal toleransi dan keberagaman itu," katanya di Purwakarta, Senin, 22 Mei 2017. (Baca: Umat Islam dan Kristen di Desa Ini Kerja Bakti Sambut Ramadan)
Wakil Duta Besar Kazaktan, Gamzat Khaerov, mengatakan bahwa Purwakarta, mengalami perubahan yang sangat pesat dalam soal toleransi kebudayaan, keberagaman dan agama. "Kami akan berbagi cerita toleransi yang ada di Kazaktan dan di Indonesia," ujar Gamzat. Ia menilai, pada intinya, soal toleransi di semua negara di dunia itu sama yakni persamaan. "Persamaan membuat orang harmonis dan cinta damai," ujarnya.
Anand Khrisna, salah seorang pembicara dalam WTC Purwakarta, mengatakan, tidak dimungkiri perbedaan itu selalu ada di mana pun. "Tetapi, kita harus saling mengapresiasi," ujarnya. Ia mengungkapkan, dalam sejarah di mana pun, isu agama itu selalu muncul. "Banyak yang lain yang kemudian mengulangi hal yang sama," ujar Anand. (Baca: Komnas HAM: Isu Kebebasan Beragama Jadi Perhatian HAM PBB)
Tapi, dia melanjutkan, persoalan toleransi saat ini ranahnya sudah bergeser ke persoalan politik, status ekonomi, pendidikan. Padahal, menurut dia, seharusnya masalah pendidikan dan kesehatan tidak boleh ada sekat. Dia berpendapat, warga kaya dan yang miskin, memiliki hak yang sama. "Itu yang harus diagungkan dalam isu toleransi," ujar Anand.
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mengatakan, WTC Purwakarta yang diikuti oleh 100 peserta dari 25 negara tersebut, dihelat oleh para mahasiswa dan pemuda Purwakarta yang sekolah, kuliah dan bekerja di luar negeri. "Pemkab Purwakarta hanya memberikan ruang saja. Dan, kepada mereka diminta agar bisa menjelaskan secara gamlang tentang perkebangan toleransi yang ada di Purwakarta dan Indonesia," tutur Dedi.
Menurut Dedi, pengelolaan soal toleransi di Purwakarta dan Indonesia sebenarnya tak pernah ada masalah. Contohnya, ketika keenam agama resmi yang sekarang hidup secara berdammpingan di Indonesia, saat awal masuk di Indonesia tak pernah dipertentangkan. Dedi menegaskan bahwa tumbuhnya intoleransi di Indonesia belakangan ini lebih disebabkan persoalan politik dan kekuasaan. "Sebabnya, soal toleransi itu jangan diseret-seret ke wilayah politik dan kekuasaan," ujarnya. (Baca: Toleransi Umat Beragama di Bali, Sejarawan: Buleleng Barometernya)
NANANG SUTISNA