TEMPO.CO, Jakarta - Penyelesaian sengketa pilkada 2017 di Mahkamah Konstitusi dianggap mengalami perbaikan dibanding pilkada 2015. Salah satunya soal perhitungan ambang batas selisih suara yang bisa diajukan ke MK.
Peneliti Konstitusi Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Adam Mulya, mengatakan, pada pilkada 2015, perhitungan ambang batas yang dilakukan MK adalah 2 persen dikali dengan total suara pemenang. Padahal, dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, ambang batas selisih suara 2 persen dihitung dari jumlah total suara sah oleh Komisi Pemilihan Umum.
"Pada sengketa pilkada 2017, KPU sudah memperbaiki perhitungan ambang batas yang sesuai dengan Pasal 158," kata Ade dalam jumpa pers tentang laporan penelitian penyelesaian sengketa pilkada oleh MK di Bakoel Koffie, Cikini, Senin, 22 Mei 2017. Laporan itu disusun Kode Inisiatif serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Baca: Dikira Hilang, Ini yang Terjadi pada Berkas Sengketa Pilkada Yogya
Dari 101 pilkada yang dilakukan pada 2017, terdapat 53 permohonan sengketa hasil pilkada yang diajukan ke MK, terdiri atas 40 kabupaten, 9 kota, dan 4 provinsi. Permohonan itu telah diputus MK, baik putusan sela maupun putusan akhir.
Dalam laporannya, Kode Inisiatif dan Perludem memberikan penilaian positif kepada MK dalam sidang sengketa pilkada. Di antaranya MK dinilai masih mempertahankan pengelolaan dan manajemen perkara yang cukup rapi. Ini memudahkan semua pihak untuk mendapatkan informasi terkait dengan penanganan permohonan. MK juga secara terbuka memfasilitasi pemantau proses perselisihan hasil pilkada 2017.
Meski demikian, ada catatan yang diberikan kepada MK, yakni soal pemeriksaan pendahuluan. Fadli Ramadhanil dari Perludem menuturkan pemeriksaan pendahuluan yang mewajibkan para hakim memberikan nasihat kepada pemohon gugatan masih belum dilakukan.
Baca: Yusril Ihza: Pengadilan Khusus Sengketa Pilkada Perlu Dibentuk
Pemeriksaan pendahuluan hanya dijadikan ruang untuk mendengarkan pembacaan permohonan serta pembacaan jawaban termohon, pihak terkait, dan pengawas pemilu. "Tidak ada nasihat dari hakim untuk perbaikan permohonan," kata Fadli.
AMIRULLAH SUHADA