TEMPO.CO, Aceh - Hakim tunggal Pengadilan Negeri Banda Aceh Ngatemin menolak permohonan euthanasia Berlin Silalahi, 46 tahun, korban tsunami yang tergusur dari Barak Bakoy di Desa Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Menurut hakim, euthanasia belum dikenal dalam hukum Indonesia. Cara itu melanggar Pasal 344 KUHP dan melanggar hak hidup seseorang.
"Euthanasia adalah tindakan bunuh diri dengan meminta bantuan dokter dan hukumnya haram menurut Alquran dan penjelasan para ulama agama Islam, sesuai dengan agama pemohon,” kata Hakim Ngatemin, di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Jumat, 19 Mei 2017.
Berlin mengajukan permohonannya melalui kuasa hukumnya dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) pada 3 Mei 2017. Berlin, dalam pemeriksaan fakta-fakta mengaku sebagai korban tsunami yang telah berpindah-pindah barak. Dia sakit asma dan lumpuh pada 2013. Tak bisa bekerja untuk menafkahi keluarga. Kehidupannya tergantung pada tetangga dan kerabat. Berlin semakin merasa tak berdaya setelah baraknya digusur oleh pemerintah pada akhir April 2017 lalu.
Dalam kondisi semacam itu, Berlin--melalui kuasa hukumnya, membuat upaya yang tak jamak dilakukan: euthanasia. Dua kali persidangan digelar, yakni pada 15 dan 18 Mei 2017, Berlin tak pernah menghadiri. “Pak Berlin tidak bisa dihadirkan, karena kondisinya lumpuh,” kata kuasa hukum Berlin dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Mila Kesuma.
Dalam persidangan, hakim meminta penjelasan kuasa hukum mengenai kondisi Berlin. Berlin, berdasarkan penjelasan Mila, sakit dan putus asa. Hakim menyarankan pemohon terus berupaya mencari kesembuhan dengan mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Ngatemin kemudian membebani pemohon membayar biaya persidangan sebesar Rp 179 ribu.
Mila mengatakan akan menyampaikan putusannya kepada Berlin yang saat ini menumpang tinggal di kantor Yayasan. Dia akan membicarakan putusan tersebut dengan Ketua YARA, Safaruddin.
ADI WARSIDI