TEMPO.CO, Samarinda – Koalisi Rakyat dan Petani Anti Mafia Tambang dan Sawit Kutai Kartanegara menilai investigasi Majalah Tempo edisi 8-14 Mei 2017 dengan artikel berjudul “Kubangan Maut Siapa Punya?” membuat masalah ini mendapat perhatian dari penegak hukum.
Menurut anggota Koalisi ini, empat orang petani di Muara Jawa, Kutai Kartanegara dimintai keterangan oleh polisi setempat. Keempat petani itu ialah Supraptomo, Arbain, Jasran dan Abdul Rasyik, yang juga anggota koalisi.
Keempatnya mendapatkan surat panggilan dari Kepolisian Resor Kukar dengan nomor surat berurutan, yakni B/557-558-559 dan 560/V/2017/Reskrim untuk mengklarifikasi legalitas terkait kepemilikan tanah atau lahan.
“Beriringan dengan terbitnya Majalah Tempo Edisi 8 - 14 Mei 2017 yang memuat invetigasi tentang tambang di Kalimantan Timur, “Kubangan Maut Siapa Punya” ini rupanya telah buat gerah para lingkaran bandar emas hitam. Pemilik yang tak lain adalah para menteri, politisi, mantan militer sampai kepala daerah dan keluarganya,” kata Pradarma Rupang, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, mewakili koalisi, melalui keterangan persnya, Senin, 14 Mei 2017.
Rupang menjelaskan keempat petani ini memang getol menolak adanya penambangan batubara dan ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang dari data koalisi merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit milik salah satu menteri sejak enam tahun terakhir yang juga bergelut di bisnis batu bara.
Padahal, menurut Rupang, perusahaan itu sampai sekarang justru tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan lahan perusahaan. Warga mengaku yakin perusahaan hanya berlandaskan dokumen lahan palsu dan berkongsi dengan mafia tanah di Kecamatan Muara Jawa, Kutai Kartanegara.
“Hal itu dibuktikan dengan kemenangan warga di pengadilan sengketa informasi, melalui putusan 11/G/KI/2016/PTUN-SMD 21 Juni 2016 yang sampai sekarang tak bisa menunjukkan bukti HGU dan kepemilikan lahan yang mereka sudah jalankan diatas lahan dan kampung warga,” ungkap Rupang.
Karena itu, kata Rupang, warga siap menunjukkan bukti-bukti kepemilikan lahan dengan terbuka dihadiri oleh semua pihak terutama pemerintah dan media.
“Warga menantang perusahaan untuk membuktikan surat dokumen mereka, bukan dengan mengintimidasi dan mengkriminalisasi warga seperti saat ini. Kami menolak tunduk, tidak akan bernegosiasi dengan maling yang merampok dari rumah kami, pertahankan tanah sampai tetes darah penghabisan,” kata aktivis lingkungan itu.
Untuk itu, Koalisi Rakyat dan Petani Anti Mafia Tambang dan Sawit Kutai Kartanegara ini terdiri dari berbagai organisasi sipil, yakni KRPAMTSKK, JATAM, Pokja 30, AMAN Kaltim, FNSDA Kaltim, Walhi Kaltim, BAR Kaltim, NALADWIPA Institute, FMK Kaltim, PMII Kukar dan Samarinda.
Bersama tim advokad, Koalisi menuntut kampung petani yang diintimidasi bisakembali seperti semula yaitu tanah dikembalikan untuk bertani dan berkebun. Koalisi juga menuntut perusahaan tambang batu bara dan kelapa sawit itu meninggalkan kampung para petani yang meminta bantuan dan dukungan Koalisi.
SAPRI MAULANA