TEMPO.CO, Jakarta - Longsor di sejumlah lokasi di Luwu Timur yang menelan korban hingga tujuh orang pada Jumat 12 Mei 2017 diduga diakibatkan intensitas hujan yang tinggi, dan kondisi tanah yang labil. Sementara korban yang jatuh tetap tak mengindahkan lokasi rumah yang berada di dataran tinggi, miring atau terjal.
"Kalau di Sulawesi Selatan dataran tinggi memang rentan, jadi warga wajib meningkatkan kewaspadaan," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulawesi Selatan, Syamsibar, Jumat 12 Mei 2017.
Dia mengatakan musibah itu memang datangnya secara tiba-tiba, tapi masyarakat perlu diingatkan agar senantiasa waspada. Apalagi dengan kondisi cuaca yang tak menentu serta wilayah rentan terkena bencana alam. "Rata-rata daerah ketinggian itu kan sudah diolah warga untuk bercocok tanam," kata Syamsibar.
Kewaspadaan akan longsor memang tengah diupayakan oleh pemerintah daerah di Sulawesi Selatan. Tak hanya di sejumlah titik di daerah Luwu Timur saja, Tana Toraja dan Enrekang termasuk wilayah yang harus waspada longsor. "Baru-baru ini kan terjadi longsor juga di Tanah Toraja. Tapi yang meninggal itu Tedong Bonga (Kerbau Belang)," kata dia.
Menurut Syamsibar, saat ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulawesi Selatan berfokus pada penyelamatan karena masih ada satu warga yang tertimbun. Apalagi tanah di lokasi masih rawan longsor. Hingga kini ada enam warga Dusun Harapan Makmur Desa Maliwowo Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur yang dievakuasi.
Sekitar lima rumah yang rusak berat dari total yang terkena material longsoran sekitar 47 unit. Tim dari provinsi dan kabupaten sudah turun bersama-sama untuk menyelamatkan. "Kalau warga perlu bantuan kami akan salurkan. Sekarang kami fokus menyelamatkan jiwa manusia dulu."
Tujuh tewas tertimpa material tanah longsor. Empat laki-laki yakni Darwis, Oga, Sul dan Haerul, kemudian tiga perempuan yaitu Nanni, Erna dan Sri. Korban lain yang luka-luka, adalah Sandi, Ical, Cummang, Sindi, Mama Sandi, Mama Candra dan Emi.
DIDIT HARIYADI