TEMPO.CO, Yogyakarta – Organisasi massa Pemuda Pancasila membubarkan pameran seni rupa bertema “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa” karya Andreas Iswinarto di Kantor Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta, Senin 8 Mei 2017 siang.
Pameran itu mengangkat kembali puisi Wiji Thukul, sastrawan dan aktivis hak asasi manusia yang hilang pada reformasi 1998. Selain memajang puisi Wiji, Andreas menambahkan karya drawing miliknya sebagai citraan visual. Total, ada 35 karya drawing Andreas dalam pameran itu. “Wiji Thukul tak boleh ada di Yogya,” teriak Abdul Ghani, pimpinan massa Pemuda Pancasila.
Baca: Bikin Penasaran, Film Wiji Thukul Laris Manis di Malang
Staf Bidang Program Pusham UII Tri Guntur Narwaya mencoba menjelaskan pameran ketika belasan massa merusak karya Andreas. Mereka menurunkan karya Andreas yang terpajang di dinding parkiran Pusham UII, tempat pameran. Massa juga mendorong tubuh Andreas yang berusaha mempertahankan karyanya. “Wiji Thukul itu PKI,” kata Ghani sembari mendorong mundur tubuh Guntur.
Ghani mengancam, selama ada acara bertema Wiji Thukul, ia tak segan menggunakan segala cara untuk membubarkannya. “Selama ada Wiji Thukul saya tabrak semua,” kata dia sembari mendorongkan telunjuk ke jidat Guntur. “Hafali nama saya," ucapnya sambil memperlihatkan badge nama di seragam Pemuda Pancasila yang dikenakannya.
Setelah berhasil menurunkan seluruh karya dalam pameran itu, massa beringsut keluar dari halaman Pusham UII. Tapi mereka tak segera membubarkan diri dan memilih berkumpul di depan gang menuju Kantor Pusham, Jalan Jeruk Legi, Banguntapan, Bantul.
Lihat: Film Wiji Thukul Tayang, Ini Harapan Ayah Bimo Petrus
Pameran Andreas tentang Wiji Thukul di Yogyakarta merupakan bagian roadshow di beberapa daerah di Indonesia. Pada 3 Mei 2017, Andreas memamerkannya di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Semarang hingga 6 Mei 2017.
Semula, pameran itu dijadwalkan digelar di Gedung Sarikat Islam Semarang pada 1 Mei 2017, tapi batal karena tekanan ormas Islam. “Mereka menuduh pameran ini bentuk komunis gaya baru,” kata Andreas.
Beberapa hari sebelum dipamerkan di Semarang, Andreas juga memamerkan karyanya di kendal, Jawa Tengah. Di Yogya, pameran direncanakan berlangsung selama 4 hari, 8-11 Mei 2017. Selain pameran karya seni rupa, panitia menjadwalkan kegiatan lain. Dari diskusi bertema hak asasi manusia, kebebasan berpendapat dan berkekspresi, hingga kebebasan pers di Indonesia.
Simak: Teriakan Fitri Nganthi Wani Soal Tudingan ke Wiji Thukul
Menurut Andreas, karya Wiji Thukul masih relevan menggambarkan kondisi saat ini meski puisi itu ditulis puluhan tahun lalu. Pemerintahan memang berkali-kali ganti sejak reformasi 1998 tapi kondisi ekonomi-politik masih belum banyak berubah. “Di sinilah puisi Wiji Thukul menemukan relevansinya,” katanya.
Guntur mengatakan pameran ini tak ada kaitannya dengan kelompok komunis atau pun ideologi tertentu. Pembubaran paksa itu justru memperlihatkan semakin kuatnya aksi intoleransi. Aksi kelompok intoleran di Yogya bahkan merambah wilayah kampus yang seharusnya menghargai tradisi berpikir kritis dan ilmiah. “Berdebat dalam diskusi (karena berbeda pendapat) silakan, tapi tidak harus seperti ini,” katanya.
Baca juga: Tengah Malam, Fajar Merah Garap Puisi Wiji Thukul
Ia menyesalkan sikap kepolisian yang dinilai abai mencegah aksi intoleran. Beberapa saat sebelum pembubaran, sekitar enam orang personil kepolisian datang menemuinya. Mereka meminta keterangan tentang pameran. Saat itu, sekelompok Pemuda Pancasila sudah bergerombol di depan gang menuju kantor Pusham UII.
Mendadak saja, lanjut dia, personel kepolisian tak berseragam yang menemuinya menghilang sesaat sebelum massa Pemuda Pancasila menggeruduk kantornya. “Kemana mereka,” kata dia, mempertanyakan.
Menurut dia, ada persoalan lain yang semestinya ditakutkan dibanding pameran seni rupa. Yakni maraknya aksi intoleransi. Aksi semacam itu ditakutkan akan mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi.
ANANG ZAKARIA