TEMPO.CO, Samarinda - Dari hasil bertani dan budidaya ikan sejak 2000, Burhanuddin, 58 tahun, warga Makroman, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, mampu meraup keuntungan hingga Rp 150 juta per tahunnya. Setelah perusahaan batu bara masuk melakukan eksploitasi di Makroman, penghasilan Burhanuddin menurun drastis hingga Rp 20 juta per tahun sejak 2008.
"Awalnya itu batu bara diambil karungan saja, lalu muncul 1 hingga dua ekskavator," kata Burhanuddin saat hadir di peluncuran laporan riset yang dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim dan Waterkeeper Alliance, di Samarinda, Senin, 8 Mei 2017.
Didampingi Jatam Kalimantan Timur, Burhanuddin bersama warga Makroman telah berkali-kali memprotes melalui demonstrasi. Namun, eksploitasi terus berlanjut.
Burhanuddin mengungkap sebelum 2008, petani mampu menghasilkan beras hingga 7 ton per hektare, dalam setahun dapat panen dua kali. "Sekarang 4 ton per hektare, itu pun biaya produksi tinggi karena hama yag diberantas semakin banyak. Panennya juga hanya sekali setahun," ungkap Burhanuddin.
Sementara, periset dari Jatam Kalimantan Timur, I Ketut Bagayasa, menjelaskan bahwa hal itu benar akibat kehadiran eksploitasi tambang batu bara. "Sejak tahun 2008 perusahaan Batu bara mulai mengeringi bendungan dan air tanah. Sejak saat itu, Pak Baharudin terpaksa menggunakan air lubang tambang untuk kolam-kolam ikannya," kata Ketut saat mendampingi Burhanuddin.
Dari hasil riset yang dilakukan Jatam Kalimantan Timur, aktivitas perusahaan tambang Batu Bara di Makroman juga mengaliri air melalui saluran irigasi sampai pada sawah dan peternakan ikan. "Konsentrasi besi pada sampel air yang diambil dari lubang tambang dan kolam endapan tambang di Makroman ditemukan masing-masing setinggi 1,58 ppm dan 2,68 ppm," kata Ketut.
Tujuh dari 17 sampel air memiliki konsentrasi besi di atas 1 ppm dan kemungkinan besar berbahaya bagi padi dan peternakan ikan. Bahkan, satu sampel memiliki konsentrasi setinggi 119 ppm. Satu sampel memiliki konsentrasi setinggi 119 ppm. Sampel 15 diambil dari saluran irigasi yang digunakan untuk mengairi sawah dan peternakan ikan.
Ketut melanjutkan, konsentrasi melebihi 2 ppm dapat berdampak pada tanaman. Lima dari 17 sampel air memiliki konsentrasi mangan di atas 2 ppm. Satu sampel memiliki konsentrasi 8,5 ppm. "15 dari 17 sampel air memiliki konsentrasi logam berat atau pH yang diperkirakan merusak produksi pangan pada sistem-sistem pertanian. Para petani yang diwawancara saat pengambilan sampel membenarkan perkiraan kami," kata Ketut.
Kepala Dinas Petambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, Amrullah, tak berani memastikan kebenaran hasil riset Jatam Kalimantan Timur dan Waterkeeper Alliance. Amrullah menjelaskan bahwa pihaknya akan memeriksa hal tersebut dan akan melaporkannya ke inspektorat pertambangan yang berwenang untuk mengambil kebijakan.
"Untuk itu benar atau tidak belum bisa kami pastikan, hal itu juga akan kita laporkan ke Inspektorat Pertambangan yang dibentuk Pemerintah Pusat yang bersifat independen," kata Amrullah saat dihubungi via telepon, Senin.
SAPRI MAULANA