TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan DPR disarankan tidak hanya merevisi, namun harus mengubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Karena isi yang ada tidak lagi sejalan dengan kondisi lapangan,” kata Hariadi Kartodihardjo dalam lokakarya yang diadakan Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) dan USAID-BIJAK di Jakarta, Kamis 4 Mei 2017.
Baca Juga:
Global Warming, Harimau Sumatera Tersisa 7 Persen
Perdagangan Kalahkan Konservasi Dalam Konferensi CITES
Selain Hariadi, nara sumber lainnya adalah Sambas Basuni, Haryanto Putro dan Nyoto Santoso. Hariadi dan Sambas adalah guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sementara Nyoto dan Haryanto adalah dosen Fakultas Kehutanan IPB.
Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 masuk dalam Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Komisi IV DPR telah membentuk panitia kerja (panja) dan sedang menyusun naskah akademik.
Hariadi menjelaskan kondisi di lapangan dan praktek yang terjadi selama ini. Mulai dari penurunan keragaman hayati dari waktu ke waktu, ketimpangan akses manfaat antara perusahaan besar dan masyarakat lokal/adat, dan hambatan dalam administrasi pembangunan.
“Lalu, kearifan lokal berbasis keanekaragaman hayati dimusnahkan secara sistematis,” katanya.
Hariadi khawatir ada kepentingan industri pertambangan dan perkebunan yang mempengaruhi pembahasan revisi UU Nomor 5/1990. Dia berharap pemerintah menolak masuknya kepentingan korporasi tersebut.
“Perguruan tinggi menjadi andalan dan harus mengambil peranan. FOReTIKA harus mengadakan rapat dengar pendapat dengan panja DPR,” ujarnya.
Hariadi menjelaskan sasaran dari revisi UU tersebut harus bertumpu pada kondisi keanekaragaman hayati (kehati) dan ekosistem saat ini. Lalu adanya integrasi antara ke kehati, kebudayaan dan pendidikan.
Selain itu terdapat landasan yuridis penyelesaian konflik maupun keterlanjuran penggunaan di kawasan konservasi. Sasaran lain adalah penyelesaian soal akses dan hak masyarakat lokal/adat.
Lalu, tersedianya instrumen ekonomi dan kelembagaan untuk mewujudkan efisiensi pemanfaatan sumber daya versus fungsi konservasi. Sasaran terakhir adalah dihindarinya monopoli dan monopsoni.
Pemerintah, DPR dan semua pihak, kata Hariadi, harus memastikan bahwa perubahan UU No 5/1990 mengatasi persoalan saat ini. Yakni masalah definisi konservasi kehati yang titik tolaknya pada keanekaragaman. Lalu, sifat keanekaragaman yang juga dimiliki secara lekat oleh hutan lindung.
Fungsi konservasi dan lindung memerlukan dukungan politik nasional. Teritorinya, ujar Hariadi, tidak dibatasi wilayah administrasi. “Ini terkait erat dengan kelola ekoregion,” katanya.
Nyoto Santoso menjelaskan ketika UU No 5/1990 disusun, hutan Indonesia belum rusak parah dan kayu masih menjadi andalan ekspor. “Saat ini, kayu sudah habis dan kita semua bicara konservasi,” ujarnya.
Pemerintah Akan Berikan Insentif Konservasi Hutan Lindung Rp 350 miliar
Nyoto menyoroti konservasi di kawasan budidaya dimana terdapat kehati yang masih mampu hidup berkelanjutan. Lalu terdapat habitat yang masih mampu mendukung kehidupan kehati.
“Sinergi konservasi dengan pembangunan basisnya pada ekoregion dan iptek konservasi harus dikembangkan,” ujar Nyoto.
UNTUNG WIDYANTO