TEMPO.CO, Kupang - Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang juga Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni meminta pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo atau Jokowi segera membatalkan perjanjian RI-Australia tahun 1997 tentang ZEE dan Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor, karena dianggap merugikan nelayan asal Indonesia.
"Kami mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan perjanjian yang belum diratifikasi tersebut," kata Ferdi kepada Tempo, Kamis, 4 Mei 2017 terkait penangkapan delapan nelayan oleh otoritas Australia.
Menurut dia, sesuatu perjanjian kerja sama jika belum diratifikasi oleh parlemen suatu negara maka dilarang untuk digunakan. Namun, Australia justru menjadikan perjanjian 1997 itu sebagai tameng untuk memberangus nelayan Indonesia yang mencari makan di Laut Timor.
"Di sini, kita semua harus berpikir secara jernih dan rasional tentang tindakan kekerasan yang dilakukan Australia terhadap nelayan yang mencari makan di Laut Timor yang masih masuk dalam wilayah perairan RI," ujarnya.
Baca juga:
Australia Tangkap 8 Nelayan Indonesia di Perairan Laut Timor
Baca Juga:
Dia mengatakan perjanjian tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor itu tidak pernah diratifikasi oleh parlemen kedua negara, sehingga tidak bisa diimplementasikan sendiri oleh Australia untuk memberangus nelayan Indonesia yang mencari ikan dan biota laut lainnya di Laut Timor.
Perjanjian RI-Australia itu ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dan Menlu Australia Alexander Downer di Perth, Australia Barat pada 1997.
Baca pula:
DPD: Bebaskan 210 Nelayan Indonesia dari penjara Australia
Mantan agen imigrasi Australia itu mengatakan perjanjian RI-Australia itu harus dinyatakan kedaluarsa dan tidak bisa diimplementasikan, karena Timor- Timur telah berdiri menjadi sebuah negara baru di kawasan Laut Timor, dan bukan lagi menjadi bagian integral dari NKRI.
"Saat perjanjian itu ditandatangani, Timor-Timur masih menjadi bagian integral dari NKRI," ujarnya.
Perjanjian 1997 tersebut, tambahnya, hanya memuat 11 pasal, dan dengan tegas menyatakan "Perjanjian ini mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi". Namun, Australia secara sepihak mengimplementasikan Perjanjian 1997 tersebut tanpa mengindahkan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.
Nasib perjanjian 1997, ujar Ferdi, sama halnya dengan MoU 1974. Nota Kesepahaman ini hanyalah sebuah alat politik belaka bagi Australia untuk melakukan aneksasi terhadap seluruh wilayah perairan Indonesia di sekitar Gugusan Pulau Pasir yang kaya dengan ikan dan biota laut lainnya serta memiliki sumber daya alam berupa migas yang berlimpah itu.
Sebelumnya delapan nelayan asal Sulawesi ditangkap di perairan Laut Timor, karena melakukan penangkapan siput di wilayah yang diklaim telah memasuki perairan Australia tersebut.
YOHANES SEO