TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Rizal Ramli mengatakan kasus korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) tak bisa dilepaskan dari peran IMF (International Monetary Fund). Menurut dia, kehadiran IMF saat krisis 1998 menyebabkan perekonomian Indonesia lebih buruk.
"Kalau kita enggak undang IMF, ekonomi Indonesia anjlok dari 6 persen ke 2 hingga 0 persen. Tapi Menko saat itu undang IMF, akibatnya ekonomi anjlok ke 13 persen," kata Rizal setelah diperiksa dalam korupsi BLBI di KPK, Selasa, 2 Mei 2017.
Baca: Kasus Korupsi BLBI, Rizal Ramli: Ada Kemungkinan Salah Kebijakan
Rizal mengatakan ketika itu ia satu-satunya ekonom yang menolak kedatangan IMF ke Indonesia. Alasannya, ia melihat perekonomian Amerika Serikat lebih rusak setelah didatangi IMF. "Betul. Begitu IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen," ujarnya.
Peningkatan bunga bank itu, kata Rizal, membuat banyak perusahaan sehat jadi bangkrut akibat tingginya bunga bank. Selain itu, IMF saat itu juga menyarankan untuk menutup 16 bank kecil.
"Begitu bank kecil ditutup, rakyat enggak percaya sama semua bank di Indonesia. Apalagi bank swasta seperti BCA, Danamon, hampir kolaps," kata Rizal. Untuk itu, pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar. "Ini termasuk penyelamatan bank paling besar di dunia," katanya.
Saran IMF yang dianggap merusak ekonomi Indonesia tak berhenti di situ. Pada 1998, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM. Akhirnya pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM hingga 74 persen.
"Besoknya demonstrasi besar-besaran. SARA di mana-mana. Ribuan orang meninggal. Rupiah anjlok," kata Rizal.
Baca: Jaksa Agung Bersyukur KPK Buka Lagi Kasus BLBI
Rizal mengatakan, akibat tiga kebijakan IMF itu kasus BLBI terjadi. Saat itu pemerintah berniat membantu pemilik bank. Sebanyak 48 bank mendapat gelontoran duit dari Bank Indonesia.
Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Mulanya mereka menandatangani perjanjian untuk pinjam tunai dan dibayar tunai. Namun pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, obligor meminta agar pembayaran tak harus dengan uang tunai, melainkan bisa dibayar dengan aset berupa saham, tanah, dan perusahaan.
Rizal menyebutkan, jika obligor berniat membayar, maka ia akan menyerahkan aset yang sesuai dengan nilai utangnya. Namun faktanya beberapa obligor menyerahkan aset yang nilainya tak sepadan.
Baca juga: Kasus BLBI, Sri Mulyani Minta Penegak Hukum Kejar Obligor Nakal
Hingga kini, sebanyak 21 bank mendapatkan SKL karena dianggap sudah melunasi utangnya. Namun KPK menemukan ada satu obligor yang mendapat SKL walaupun belum melunasi utangnya.
KPK pun menetapkan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional 2002 Syafruddin Tumenggung sebagai tersangka. Ia diduga menerbitkan SKL ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Padahal hasil restrukturisasi menyebut baru Rp 1,1 triliun yang ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim, pemegang saham pengendali BDNI.
Rizal menduga, bukan hanya Sjamsul yang mendapat SKL meski belum melunasi utangnya. "Enggak hanya satu, ada beberapa obligor yang belum melunasi kok diberi keterangan lunas. ini lah yang sedang diselidiki," katanya.
MAYA AYU PUSPITASARI