TEMPO.CO, Yogyakarta - Padatnya kunjungan wisatawan ke Kota Yogyakarta pada libur akhir pekan panjang, Sabtu hingga Senin, 29 April sampai 1 Mei 2017 kemarin, tak melulu memberikan hasil memuaskan kalangan pedagang kaki limanya.
Meski kunjungan wisatawan itu membuat sejumlah ruas jalan di Yogyakarta sangat padat dari pagi hingga petang, seperti Jalan Malioboro, namun tak selalu berbanding dengan peningkatan omset atau keuntungan para pedagang kaki lima atau PKL.
Baca juga:
Yogyakarta Bangun Toilet Sekelas Hotel Bintang 5 di Malioboro
“Mungkin karena wisatawannya cenderung orang yang sama, sebelumnya pernah ke sini lalu ke sini lagi, jadi tak merasa kaget lagi lalu beli banyak oleh oleh cenderamata,” ujar Marwan, pedagang pakaian batik di emper trotoar barat Jalan Malioboro, Senin, 1 Mei 2017.
Marwan menambahkan, kalangan pedagang kaki lima di Malioboro sudah cukup mengenal pola belanja wisatawan ini. Untuk para wisatawan yang baru kali pertama mendatangi Yogya atau Malioboro biasanya mereka akan borong banyak oleh-oleh dan cenderamata.
Baca pula:
Ini Jadwal Dimulainya Kawasan Malioboro Dipermak
“Biasanya wisatawan baru itu datang ikut program-program pemerintah, dan pas bukan musim liburan,“ ujar Marwan yang juga membuka lapak sepatu di emper Malioboro itu. Jika mengandalkan musim liburan seperti akhir pekan, omsetnya pun tak bisa dipastikan.
“Dalam sehari bisa omset Rp 1 juta itu sudah maksimal banget, rata-rata omset mentok Rp 300 ribu untuk pakaian,” ujarnya. Marwan menuturkan, wisatawan yang sudah terbiasa pergi ke Yogya saat musim liburan bakal menawar harga dagangan dengan sangat rendah. Sehingga kadang pedagang pun mengambil pilihan impas daripada tak laku sama sekali. “Misalnya batik ditawar Rp 100 ribu dapat empat potong, padahal kulakannya Rp 25 ribu per potong, daripada tak laku ya dilepas,” ujar Marwan.
Silakan baca:
Kenapa Turis ke Yogyakarta Tak Sebanyak Bali?
Hal hampir serupa diungkapkan Poniman, pedagang cenderamata kerajinan kayu dan kulit di emper Malioboro depan kantor DPRD DIY. Pola belanja wisatawan domestik di Malioboro memang beragam namun tetap saja memberi peningkatan saat musim liburan.
“Kalau barang kerajinan stabil, tidak turun tapi juga tidak naik omsetnya jika liburan akhir pekan biasa,” ujar Poniman. Sebab untuk kerajinan, harganya lebih variatif dibanding pakaian yang biasanya berkisar Rp 25 ribu ke atas. Poniman pun mengaku masih bisa mendapatkan omset lebih di atas Rp 1 juta dalam sehari jika musim liburan panjang seperti saat ini.
“Tapi memang lebih kelihatan untungnya kalau kunjungan wisatawan bulan Juli atau September, wisatawan asingnya lebih banyak dan untungnya jelas kelihatan,” ujarnya.
Seorang penarik andong di Malioboro, Catur Wintoyo menuturkan, macetnya Malioboro saat libur akhir pekan panjang sebenarnya sama saja pengaruhnya pada penghasilannya di hari biasa.
“Untuk penarik andong sehari maksimal narik lima kali sudah harus berhenti juga karena takut kudanya kelelahan, malah sakit, jadi tak bisa memaksakan barik lebih banyak,” ujarnya. Hanya saja tarif untuk sekali naik andong saat libur akhir pekan panjang seperti ini harganya ikut naik karena jarak tempuh makin lama akibat macet. Dari biasanya tarif normal Rp 70-75 ribu untuk mengeliling Malioboro sampai pusat Bakpia Patuk, naik menjadi Rp 100 ribu sekali jalan.
PRIBADI WICAKSONO