TEMPO.CO, Banyuwangi - Dalam lima tahun ini, Paguyuban Sengker Kuwung Belambangan berupaya merawat bahasa daerah Using (Osing) asal Banyuwangi, Jawa Timur agar tidak punah. Upaya tersebut melalui lomba cerpen serta penerbitan buku sastra dan artikel budaya.
Tiga buku terbaru, mereka luncurkan di aula Perpustakaan Daerah setempat Sabtu sore 29 April 2017. Ketiga buku berjudul Jerangkong, Gending Banyuwangi dan Sastra Seni Santet tersebut, menggenapi 17 buku yang diterbitkan sejak 2013. Bersamaan dengan peluncuran buku ini, Paguyuban Sengker memberikan hadiah bagi 9 pemenang lomba cerpen bahasa Using. Para pemenang berasal dari tingkat sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan umum. Acara tersebut sekaligus menjadi tempat bertemunya para penulis muda dengan mereka yang telah melahirkan banyak karya berbahasa Using.
Baca juga:
Using Banyuwangi Masuk Bahasa Jawa atau Bukan?
Jerangkong berisi kumpulan cerita pendek berbahasa Using karya warga, yang dimuat salah satu tabloid lokal sepanjang Maret 2016-Maret 2017. Sementara buku Gending Banyuwangi terdiri dari notasi angka dan balok 50 judul lagu yang diciptakan Andang Chatib Jusuf, BS Noerdian dan MF Hariyanto. Ketiganya merupakan maestro pencipta lagu using Banyuwangi yang populer di era tahun 1970-1980an.
Terakhir, buku Sastra Seni Santet memuat artikel tentang kekayaan seni, sastra dan mantra Banyuwangi yang ditulis oleh sejumlah penulis lokal. Kata santet biasanya diidentikkan dengan sihir atau ilmu hitam lainnya, sebuah stigma buruk yang sebelumnya dilekatkan pada Banyuwangi. "Padahal santet dalam pengertian Banyuwangi itu sebenarnya ilmu pengasihan," kata dia, Sabtu, 29 April 2017.
Baca pula:
Bahasa Lokal Using Tak Diakui, Banyuwangi Protes Gubernur
Using adalah salah satu kelompok etnik yang tinggal di ujung timur Jawa ini. Dari 24 kecamatan di Banyuwangi, masyarakat Using tersebar di 9 kecamatan. Corak kebudayaan mereka adalah agraris yang memiliki tradisi, bahasa, dan kesenian tradisional khas, yang sedang berjuang di tengah gempuran modernisasi.
Paguyuban Sengker bermula dari 2013 memiliki 14 anggota dari pelbagai usia. Beberapa di antaranya bekerja di perantauan, seperti di Jakarta dan Surabaya. Mereka tergerak membuat komunitas tersebut karena prihatin dengan bahasa daerahnya yang kian tersisih. Bila tak dirawat, maka penutur dan penulisan bahasa Using terutama di kalangan generasi muda semakin menyusut. Problem yang sama juga menimpa 139 bahasa daerah lain yang terancam punah versi Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional.
Kemudian mereka bergerak dengan mengadakan lomba cerpen untuk pelajar, mendokumentasikan artikel sejarah dan budaya, menerbitkan kumpulan cerita anak dan novel. Karya mereka di tahun-tahun awal antara lain Isun Dhemen Basa Using (2013), Markas Ketelon (2014), Enam Mata Tentang Banyuwangi (2015), Nganggit Nganggo Basa Using (2015). Semua buku itu mereka terbitkan dan distribusikan secara independen (indie) menggunakan dana swadaya. "Setiap buku kami cetak 200 eksemplar," kata pria 51 tahun ini.
Untuk menjangkau pembaca lebih luas, beberapa buku diterbitkan dwi bahasa: Using-Indonesia. Bahkan buku Enam Mata Tentang Banyuwangi dicetak sekaligus ke dalam Using-Indonesia-Inggris. Tak semua judul laris di pasaran. Antariksawan mengakui meningkatkan budaya membaca merupakan tantangan sendiri. Ada judul yang laris seperti Isun Dhemen Basa Using bisa naik cetak tiga kali karena dibutuhkan di sekolah yang memiliki muatan lokal bahasa Using.
Ridzkiya Karimatus Sholehah berbinar-binar saat namanya disebut sebagai pemenang. Dia menjadi juara terbaik pertama kategori SMP lomba cerpen berbahasa Using melalui karyanya berjudul Kembang Pecereng. "Karya ini saya tulis hanya sehari," kata siswa kelas IX SMPN 1 Glagah ini kepada Tempo.
Gadis berusia 15 tahun itu, memang hobi menulis cerpen. Tahun lalu, karyanya memenangkan juara 2 tingkat Provinsi Jawa Timur. Ridzkiya tidak mengalami kesulitan bertutur dan menulis dalam bahasa Using karena lahir dari keluarga penutur Using. Cerpennya Kembang Pecereng berkisah tentang salah satu jenis bunga yang dipakai dalam mahkota (omprog) penari gandrung. Kebetulan kembang pecereng yang tumbuh di depan rumahnya, sering dipakai tetangganya saat akan menari gandrung, tarian khas Banyuwangi.
Bagi Ridzkiya lomba semacam ini sangat penting untuk melestarikan bahasa ibunya. "Saya tak malu berbahasa Using di sekolah," kata gadis berkerudung ini.
Upaya Paguyuban Sengker menggenapi jerih payah budayawan terdahulunya dalam melestarikan bahasa Using, baik melalui lagu, sastra, atau Kamus Bahasa Using yang terbit tahun 1990an. Bahkan, Banyuwangi telah memiliki Peraturan Daerah Banyuwangi Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar. Dengan perda tersebut, bahasa Using telah diajarkan sebagai muatan lokal di tingkat SD dan SMP.
Tantangan pelestarian bahasa Using saat ini bertambah terjal setelah Gubernur Jawa Timur menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah. Isi pergub tersebut hanya mengakui bahasa Jawa dan Madura sebagai muatan lokal wajib di jenjang SD hingga SMA. Kenyataan adanya bahasa Using yang diajarkan di sekolah-sekolah Banyuwangi, tak diakui dalam peraturan itu.
IKA NINGTYAS