TEMPO.CO, Jakarta -Terdakwa kasus suap pengadaan satelit monitor Badan Keamanan laut (Bakamla) M Adami Okta menceritakan bagaimana ia bersama rekannya, Hardy Stefanus dan bosnya di PT Merial Esa Indonesia Fahmi Darmawansyah terlibat dalam kasus itu. Keterlibatan mereka, kata Adami, bermula saat Staf Khusus Kepala Bakamla Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi mendatangi bosnya pada bulan Maret 2016.
“Menawarkan, apa mau ikut bermain proyek di Bakamla,” kata Adami dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Jumat, 28 April 2017 lalu.
Baca juga:
Sidang Suap Satelit Bakamla, Kabakamla Tak Tahu Adami dan Hardy
Adami berujar, pada awalnya, bosnya ragu-ragu untuk ikut serta dalam lelang pengadaan barang di Bakamla lantaran perusahaannya belum pernah punya pengalaman di sana. Namun, kata dia, Ali mencoba meyakinkan Fahmi untuk ikut “main”. “Jika bersedia, harus mengikuti arahan,” kata dia. Saat itu, Ali belum menyebutkan soal fee yang perlu digelontorkan bila ingin menang lelang di sana. Ali pun sempat menanyakan produk apa yang dapat didukung oleh perusahaan Fahmi.
Setelah pertemuan itu komunikasi berlangsung intensif antara Fahmi dan Ali. Barulah, kata Adami, dia diberitahu bosnya bahwa Ali meminta persenan sebesar 15 persen untuk memuluskan jalan mereka memenangkan lelang di Bakamla. “Katanya waktu itu besarannya berubah-ubah, pernah bilang 30 persen,” ujarnya. Kemana duit itu akan dialirkan, kata Adami, Ali tidak menyebutkan.
Baca pula:
Pejabat Bakamla Diduga Disuap, Ini Kronologis Penangkapannya
Dari pertemuan awal, ungkap Adami, Ali menyatakan bahwa produk dari perusahaan Fahmi dibutuhkan sehingga akan diadakan pengadaan. Mereka pun kemudian diarahkan agar bertemu pihak-pihak Bakamla guna membicarakan spesifikasi alat.
Pertemuan yang berlangsung di kantor PT MEI itu sempat menyinggung soal anggaran, namun tidak secara spesifik. "Akan menggunakan APBN-P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan)," kata Adami. Sebelumnya, Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo, menyatakan bahwa Bakamla akan memeroleh tambahan anggaran pada tahun 2016 sebesar Rp 1,5 Triliun dari anggaran awal sebesar Rp 350 Miliar. Pada saat itu, proyek ini belum dianggarkan sama sekali.
Silakan baca:
Sidang Suap Satelit, Kepala Bakamla: Tak Ada Perintah Terima Duit
Pada pertemuan lain, kata Adami, Ali meminta uang muka sebesar 6 persen terkait pengadaan dengan alasan untuk mengurus agar proyek itu dianggarkan. Akhirnya, Ali menyebutkan bahwa pengadaan satelit monitor dianggarkan sebesar Rp 400 Miliar.
Permintaan 6 persen itu akhirnya direalisasikan menjadi fulus sebesar Rp 24 Miliar dalam bentuk valuta asing. Adami mengaku bersama Hardy menyerahkan duit itu secara kepada Ali pada 1 Juli 2016 di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Dia tidak tahu apakah duit ini termasuk ke dalam 15 persen yang diminta Ali atau tidak.
Fahmi Darmawansyah lantas mengikuti lelang dengan dua perusahaan untuk dua proyek yang berbeda. PT Melati Technofo Indonesia untuk proyek satelit monitor dan PT Merial Esa Indonesia untuk proyek drone. Kedua perusahaan itu dinyatakan memenangkan lelang. Namun kontrak yang ditandatangani hanya untuk proyek satelit monitor lantaran tidak ada anggaran untuk proyek drone.
Setelah tanda tangan kontrak, kata Adami, Ali kembali meminta fulus kepada perusahaannya sebesar 2 persen dari nilai total proyek yaitu Rp 222 miliar. Ali meminta agar duit itu tidak diserahkan langsung kepada Bakamla, melainkan harus melalui dia. Namun, duit kemudian itu tidak diberikan lantaran, kata Adami, perusahaannya pun belum dibayar. "Saat itu belum saya berikan, saya sudah keburu bertemu Pak Eko (Eko Susilo Hadi)," kata dia. Eko Susilo Hadi adalah Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla dan Kuasa Pengguna Anggaran pada saat itu.
Pertemuan Adami dengan Eko adalah ketika mereka akan melakukan kunjungan pabrik ke Jerman. Dari sana, Adami diberitahu Eko bahwa jatah Bakamla adalah 7,5 persen, namun dia diminta untuk segera menyiapkan 2 persen dan uang operasional sebesar 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro. Uang operasional sudah diberikan pada 14 November 2016.
Di Jerman, Adami mendapat instruksi dari Eko untuk membagi duit jatah Bakamla yang 2 persen ke sejumlah pihak dengan rincian masing-masing Rp 1 miliar untuk Direktur Data dan Informasi Bakamla Laksamana Pertama Bambang Udoyo serta Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan, dan Rp 2 miliar untuk Eko. Dia diminta menyerahkan duit-duit itu dalam bentuk valuta asing ke pihak terkait setelah kembali dari Jerman. Semua duit sudah dibagikan sesuai dengan arahan Eko.
Selain diminta memberi duit ke sejumlah Rp 4 miliar, Adami juga mengaku diminta Eko untuk memberi fulus ke Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono sebesar Rp 120 juta. "Pak Eko minta dibantu anak buahnya karena sedang kesulitan, terkait dengan hutang," kata dia. Duit untuk Tri itu tidak termasuk ke dalam jatah 2 persen maupun 7,5 persen untuk Bakamla.
Kini, KPK masih mengusahakan untuk dapat menghadirkan Ali Fahmi dalam persidangan. Ali dinilai sebagai kunci untuk dapat menyelidiki lebih jauh keterlibatan sejumlah pihak, termasuk anggota DPR, dalam kasus suap sejumlah pejabat Bakamla ini.
CAESAR AKBAR I S. DIAN ANDRYANTO