TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz mengatakan, persetujuan pengajuan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diputuskan dalam rapat paripurna kemarin ilegal. Alasannya pimpinan sidang saat itu, Fahri Hamzah, memutuskan secara sepihak tanpa memberi kesempatan anggota yang menolak untuk berbicara.
"Fahri mengetuk palu secara sepihak padahal anggota DPR sudah interupsi berkali-kali tapi diabaikan," kata Donal dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu, 29 April 2017.
Baca juga: Hak Angket KPK, Fahri Hamzah Klaim Kuota Pengusul Terpenuhi
Selain itu, Donal beranggapan hak angket itu tidak memenuhi syarat lantaran tidak memenuhi persyaratan yang tertuang dalam Pasal 199 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. "Angket harus disetujui dan dihadiri oleh setengah lebih satu dari seluruh anggota DPR," ucapnya
Sebabnya ia menganggap persidangan kemarin belum sampai pada pengambilan keputusan apakah hak angket itu disetujui atau tidak. "Karena prosesnya cacat hukum dan tidak bisa dianggap proses yang benar,"
Lantaran menganggapnya tidak sah dan cacat hukum, Donal meminta agar fraksi yang tidak setuju hak angket ini protes dan menyampaikan keberatannya.
Ia juga menyarankan agar KPK tidak hadir ke DPR bila nantinya hak angket ini dibahas di dalam panitia khusus. "Karena mekanismenya tidak sah, KPK berhak menolak," ujar dia.
Pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpendapat sama. Menurut dia, hak angket yang disetujui DPR kemarin adalah ilegal.
Simak pula: Alasan Fahri Hamzah Ketok Palu Hak Angket DPR Meski Diprotes
Ketukan palu tanda persetujuan dilakukan tanpa memperhitungkan jumlah anggota yang setuju dan tidak setuju. Padahal dari penolakan dan aksi walkout yang dilakukan oleh sebagian anggota DPR menunjukkan bahwa ada yang tidak setuju denhan angket ini. "Tapi itu tidak menjadi pertimbangan Fahri Hamzah sebelum mengetuk palu," ujarnya.
Hak angket DPR untuk KPK ini diusulkan oleh Komisi Hukum DPR RI agar KPK mau membuka rekaman pemeriksaan politikus Hanura, Miryam S. Haryani, dalam perkara korupsi E-KTP. Pasalnya Miryam mengaku ditekan enam orang anggota hukum agar menyampaikan keterangan palsu.
Saat sidang paripurna kemarin, hak angket itu sudah ditandatangani oleh 26 orang anggota dari sembilan fraksi. Fahri Hamzah membantah keputusan itu diambil secara sepihak. Dia mengklaim pengajuan hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memenuhi kuota pengusul sebanyak 25 anggota Dewan.
AHMAD FAIZ