TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan lembaganya dan para ahli hukum bersepakat bahwa revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terbatas untuk tahanan narkoba. Kesepakatan ini tercapai dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pekan lalu.
Selain menyepakati remisi terbatas untuk tahanan narkoba, FGD memutuskan menolak remisi bagi tahanan kasus korupsi. "Soal korupsinya enggak dulu. Jadi ini soal narkoba," ucap Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 25 April 2017. Hasil FGD ini selanjutnya akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo. |
Baca juga:
Menteri Laoly: Tanpa Remisi, LP Bisa Penuh Semua
Selain itu, rencananya akan ada tim khusus yang akan menilai dan memberi pertimbangan seorang tahanan kasus narkoba pantas diberi remisi atau tidak. Menurut dia, tim ini akan terdiri atas perwakilan Kementerian Hukum, penegak hukum, dan tokoh masyarakat. "Lebih banyak dari kalangan independen," ujarnya.
Menurut Yasonna, remisi bagi tahanan narkoba diperlukan lantaran jumlahnya yang paling banyak. Jumlahnya bahkan sudah melebihi daya tampung lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
"Berdasarkan survei, Di Indonesia ada lima juta pemakai. Kalau 10 persennya ditangkap, yaitu 500 ribu orang, dengan kapasitas LP sekarang 220 ribu, ini sudah mabok," tuturnya.
Jumlah yang besar itu, kata Yasonna, membuat kondisi tahanan di LP tidak manusiawi. Para tahanan terpaksa berimpitan di dalam sel, bahkan tidur dengan cara bergiliran.
Ia mengakui pemerintah tidak bisa terus membangun gedung LP baru lantaran biaya yang mahal. "Maka paradigmanya harus diubah," ucapnya.
Selain itu, Yasonna menuturkan perlu ada keadilan dalam rehabilitasi pengguna narkoba. Semua tahanan harus direhabilitasi. "Jangan hanya artis," ujar Yasonna.
AHMAD FAIZ