TEMPO.CO, Purwakarta -Puluhan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Bandung, melakukan tabayun ihwal sejumlah tudingan miring perbuatan sirik dan klenik yang selama ini ditujukan kepada Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi.
"Yang datang dan bersilaturahmi ke Kang Dedi (sapaan akrab Dedi Mulyadi) ini, semuanya dosen yang sudah bergelar doktor," kata Jujun Junaedi, yang menjadi pemandu acara, di Bale Nagr komplek perkantoran Bupati Purwakarta, Kamis, 20 April 2017.
Baca juga:
Mahasiswa ITB Akan Adopsi Gagasan Desa Budaya Purwakarta
Mereka, menurut Jujun, selama ini mendengar tudingan bahwa Kang Dedi, berpeliku sirik dan klenik itu baru kata orang atau membaca di media massa. "Karena mereka adalah para doktor, maka dalam memahami sesuatu masalah tidak boleh cenah (katanya), tetapi harus langsung dan faktual dari sumbernya," katanya.
Ambu, salah seorang penanya meminta penjelasan Dedi ihwal warna hitam-putih, Sunda wiwitan dan Nyi Roro Kidul yang selama ini dipahami sebagian masyarakat sebagai faham yang dianut Dedi. "Kami mohon penjelasan Kang Dedi?," ujar Ambu.
Baca pula:
Purwakarta Akan Dirikan 17 SD Berbasis Budaya
Dedi pun langsung menanggapinya dengan santai dan penuh canda. Soal warna hitam-putih, Dedi menyatakan bahwa perjalanan kehidupan manusia disimbolkan dengan warna itu. Ada baik ada jelek, ada siang ada malam, ada langit ada bumi, ada kehidupan juga ada kematian.
"Di dalam Islam, ka'bah disimbolkan dengan warna kain penutup hitam dan gamis disimbolkan dengan warna putih," kata Dedi. Soal Sunda Wiwitan, itu adalah nilai-nilai kesundaan yang tumbuh di masyarakat baheula dan diteruskan oleh generasi sekarang, seperti di Baduy, Ciptagelar dan Kampung Naga.
"Bagaimana cara mereka menata-ruang lingkungan, sekaligus merawatnya mulai dari sungai, hutan, pepohonan hingga binatang penunggu hutan yang disakralkan. Mereka menggunakan rasa dan hati nurani," ujar Dedi.
Silakan baca:
Purwakarta Daerah yang Toleran
Hal yang dilakukan para penganut Sunda Wiwitan itu, sama sekali tidak bertentangan dengar hakikat keislaman. Tentang Nyi Roro Kidul, Dedi mengemukan bahwa hal itu terjadi akibat salah persepsi di kalangan masyarakat yang tidak hafal konteksnya.
"Suatu ketika, saya menyampaikan guyonan. Ada orang yang bertanya, kenapa Bupati Dedi membangun Purwakarta tanpa henti, dari mana duitnya? Saya katakan, dari Nyi Ratu Kidul," ujarnya. Dari situlah kemudian menyebar bahwa dirinya melakukan perkawinan siri dengan Nyi Ratu Kidul.
Dedi juga menjelaskan ihwal penyebutan nama Nyi Roro Kidul yang kemudian dia sebut sebagai Nyi Ratu Kidul. "Ratu itu kan penguasa. Jadi, Nyai Ratu Kidul itu saya ibaratkan sebagai penguasa lautan yang sekaligus merawatnya. Dan, aura muka Nyai Ratu Kidul Juga cantik, tidak seperti Nyi Roro Kidul yang buruk rupa dan menyeramkan," tuturnya.
Makanya, lanjut Dedi, mulai sekarang dan seterusnya, dia akan mempopulerkan Nyi Ratu Kidul yang misterius melali lukisan sebagai brandingnya pariwisata Jawa Barat terutama Pangandaran sebagai mana lukisan Monalisa dari Eropa yang termashyur tetapi juga misterius itu.
Nanih Machendrawati, dosen senior Ilmu Filsafat, menanyakan ihwal Filsafat Kesundaan yang menjadi gagasan dan basis pembangunan Bupati Dedi Mulyadi di Purwakarta. Dedi menjelaskan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang bersumber dari falsafah Kesundaan itu sangat pas untuk merekonstruksi kerusakan di berbagai bidang di wilayah Jawa Barat saat ini.
Kebudayaan Sunda itu sangat menekankan soal tata-nilai yang berkeseimbangan, terutama dalam soal tata kelola udara, sumber air, energi matahari dan angin yang menjadi sumber kehidupan manusia di dunia ini. "Seperti yang saat ini tetap dilakukan oleh masyarakat Baduy, Cipagelar dan Kampung Naga itu," ujarnya.
Dalam perspektif islam, menurut Dedi, tidak ada yang salah menjadikan nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis Kesundaan itu. "Intinya, saya ingin menghadirkan nilai-nilai kesudahan masa lalu itu di tengah hiruk-pikuk gempuran modernisasi. Ternyata, hasilnya kini dirasakan masyarakat Purwakarta. Makanya, tak ada yang perlu dirisaukan," kata Dedi.
Menurut Dedi, Filsafat Kesundaan itu membawa manfaat yang sangat luar biasa buat mereduksi tata-ruang dan lingkungan hidup yang kini sudah carut-marut. "Kenapa harus kita harus bangga dengan pendekatan fisafat Barat yang sesungguhnya yang tidak sesuai dengan adat dan kendaraan orang Sunda?," Dedi melempar pertanyaan.
Nanih mengaku tergugah atas penjelasan Dedi. Dia pun menyatakan selama ini, bangsa Indonesia termasuk orang Sunda terkagum-kagum dengan Falsafah Yunani yang sebenarnya kurang adaptif dengan kondisi yang sebenarnya.
"Sebabnya, perlu dikaji dan didalami lagi soal Falsafah Kesundaan termasuk Falsafah Jawa," ujarnya. Ia menyatakan sepakat dengan Dedi bahwa pembangunan di Jawa Barat, seyogyanya dikembalikan melalui kearifan lokal yang berbasis Kesundaan.
NANANG SUTISNA