TEMPO.CO, Yogyakarta - Raja Yogyakarta yang juga Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X merasa tidak diwawancarai soal hak atas tanah warga Tionghoa yang disiarkan di metronews.tk. Sultan melaporkan berita tidak benar itu ke markas Kepolisian Daerah DIY, Rabu, 19 April 2017.
Sultan datang pukul 14.45 di kantor polisi itu. Kepala Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Jenderal Ahmad Dofiri langsung menyambut di teras kantor. Sekitar setengah jam Sultan ditemui kepala Kepolisian Daerah di ruangannya. Lalu diantar menuju ke ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) di dekat pintu gerbang markas Kepolisian Daerah.
Baca juga:
Sultan HB X: Penanganan Bencana tanpa Tanya Siapa Tuhanmu
"Kalimat yang ada di situ saya kira sesuatu yang melanggar peraturan perundang-undangan," kata Sultan usai membuat laporan di SPKT Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu sore, 19 April 2017.
Sultan mengaku tidak pernah memberikan pernyataan seperti dalam tulisan itu. Ia merasa prihatin, karena ia merasa dilibatkan dalam hal yang tidak ada kewenangan apapun. Yaitu soal pemilihan kepala daerah Jakarta. Karena dalam tulisan itu disinggung soal etnis Tionghoa yang menjadi salah satu calon gubernur Jakarta. "Itu memojokkan salah satu etnis tertentu berupa SARA," kata dia.
Ia mengaku tidak mengetahui siapa yang membuat tulisan itu. Tetapi karena mencemarkan nama baik dan penistaan serta memuat unsur SARA, maka ia berhak melaporkan. Bahkan tidak diwakili oleh pengacaranya.
Sultan mengetahui tulisan itu tadi pagi. Ia berharap polisi segera menindaklanjuti laporannya tersebut untuk mengusut pembuatnya.
Dalam berita itu hanya disebutkan nama Sri Sultan Hamengku Buwono tanpa X. Tetapi foto dalam berita itu adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Isi berita itu mengenai warga Tionghoa di Yogyakarta tidak berhak memiliki tanah. Tapi hanya hak guna bangunan.
Judul berita di portal itu panjang yaitu SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO : MAAF BUKAN SARA, TAPI CINA DAN KETURUNANNYA TIDAK PANTAS JADI PEMIMPIN DI BUMI NUSANTARA. FAKTA SEJARAH, TIONGHOA ADALAH SATU-SATUNYA PENGHIANAT NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI).
Dalam tulisan itu disebutkan bahwa warga Tionghua merupakan pengkhianat perjuangan Indonesia. Disebutkan ada agresi militer kedua Belanda, Desember 1948. Komunitas Tionghoa di Yogyakarta memberi sokongan kepada agresor Belanda. Pada 1950 warga etnis Cina di Yogyakarta akan eksodus.
Tetapi dilarang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mereka akan tetap diakui sebagai tetangga dan dibiarkan tinggal di Yogyakarta. Tetapi mereka tidak berhak memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tulisan Yogyakarta juga sering salah di portal itu. Justru ditulis dengan Yogjakarta dan Yagjakarta.
Kepala Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Jenderal Ahmad Dofiri menyatakan, Sulta sebagai warga negara langsung datang melaporkan. Bahkan laporan dilakukan di SPKT. "Akan kami tindaklanjuti. Laporan bukan di ruang saya tetapi di SPKT," kata dia.
MUH SYAIFULLAH