TEMPO.CO, Jakarta - Dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek e-KTP hari ini, Kamis, 13 April 2017, anggota tim teknis pengadaan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Sampurno membeberkan pertemuan-pertemuan yang dilakukan Tim Fatmawati. Tim besutan Andi Agustinus alias Andi Narogong ini diduga dibentuk untuk mengatur pelaksanaan pengadaan e-KTP.
Tri menjelaskan pertemuan itu dimulai tahun 2010. Saat itu, ia mendapat undangan dari tim Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) untuk berdiskusi soal sistem e-KTP di ruko Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Baca: Kasus Korupsi E-KTP, KPK Perpanjang Penahanan Andi Narogong
Menurut Tri, pertemuan itu terjadi sebelum ada penunjukan pemenang tender e-KTP. "Perlu saya jelaskan saat itu saya belum menjadi tim teknis e-KTP Kemendagri," katanya saat bersaksi dalam sidang korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 13 April 2017.
Tri menyebut pertemuan di ruko Fatmawati itu berlangsung lima kali. Ia mengatakan sekurang-kurangnya dua atau empat orang dari tim BPPT selalu ikut dalam pertemuan. Salah satunya Kepala Bidang Sistem Informasi dan Komputerisasi pada Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT Husni Fahmi.
Pertemuan itu membahas keinginan tim PNRI bekerja sama dengan tim BPPT untuk mengembangkan sistem e-KTP. Selanjutnya tim PNRI mengusulkan kelompok kerja yang akan dibentuk. Selain itu, pertemuan juga membahas uji petik, aplikasi SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), smart card, dan teknologi face recognization.
Baca: KPK Usut Hubungan Setya Novanto dengan Andi Narogong
Pada suatu pertemuan, Tri mengaku dititipi tiga laptop oleh Setyo Dwi Suhartanto, staf direksi PNRI, untuk digunakan dalam kegiatan pengembangan sistem e-KTP. Saat ini ketiga laptop itu disimpan di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong.
Tri melanjutkan setelah pertemuan kelima, ia menyadari bahwa BPPT tidak selayaknya melakukan pertemuan dengan pihak swasta yang ingin menggarap proyek pemerintah. Ia pun mengusulkan kepada Husni agar pertemuan-pertemuan dihentikan.
"Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan tim BPPT dan PNRI tidak ada produk atau sistem yang dihasilkan bersama, atau spesifikasi teknis yang kami usulkan," kata Tri.
Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, jaksa menyebut tim Fatmawati terdiri dari PT Java Trade Utama yang pernah mengerjakan proyek SIAK Kementerian Dalam Negeri Tahun anggaran 2009; tim PNRI; tim Andi Agustinus termasuk saudara kandungnya yakni Vidi Gunawan dan Dedi Priyono; tim BPPT; PT Sandipala Arthaputra; PT Astra Graphia; PT Murakabi Sejahtera; dan beberapa vendor.
Simak pula: Korupsi E-KTP, Saut: KPK Sedang Merekonstruksi Kasusnya
Beberapa anggota tim Fatmawati tersebut, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan. Mereka ini setiap bulannya mendapat gaji dari Andi Agustinus masing-masing Rp 5 juta per bulan selama setahun, sehingga total yang dibayarkan Andi untuk anggota tim Fatmawati adalah sebesar Rp 480 juta.
Dari beberapa kali pertemuan itu, diperoleh kesepakatan antara terdakwa, Andi Agustinus, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini, dan tim Fatmawati bahwa pelelangan proyek e-KTP akan diarahkan untuk memenangkan konsorsium PNRI. Untuk itu dibentuk pula konsorsium Astragraphia dan konsorsium Murakabi Sejahtera.
MAYA AYU PUSPITASARI